Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga "Ruh" di Cagar Budaya dan Memorabilia Bank Indonesia

Kompas.com - 28/05/2014, 10:33 WIB
Latief

Penulis

KOMPAS.com - Manusia tak lepas dari uang. Sebagai alat tukar, uang menjadi salah satu bukti peradaban kebudayaan.

Bagi banyak ahli, uang juga menjadi alat untuk menyusuri perjalanan waktu di masa lalu. Pergantian pemerintahan, dinamika politik, masa kejatuhan atau era keemasan ekonomi politik, dapat ditelusuri dari mata uang.

"Maka, salah satu proses menghargai sekaligus mempelajari sejarah uang ada di museum ini. Kami ingin mengajak publik menghargai sejarah bangsanya sendiri di sini," ujar Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI, Dian Ediana Rae, usai meresmikan Cagar Budaya dan Memorabilia Bank Indonesia di Bandung, Senin (26/5/2015).

Berlokasi di Jl Braga, gedung Cagar Budaya dan Memorabilia Bank Indonesia dipenuhi memorabilia yang menampilkan beragam sejarah perjalanan Bank Indonesia (BI) dan koleksi-koleksi berbentuk panel informasi, numismatik, serta non-numismatik, mulai uang kuno hingga alat pencetak uang. Waktu seolah berhenti di ruangan berlangit-langit tinggi menjulang gedung itu.

"Karena itu, kami ingin gedung ini tetap utuh secara fisik agar ruh dari perjalanan sejarah itu tetap terasa saat ini dan nanti hingga anak-anak cucu kita," katanya.

M Latief/KOMPAS.com Awalnya, gedung Cagar Budaya dan Memorabilia Bank Indonesia ini merupakan kantor cabang De Javasche Bank (DJB) ke-15 yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai tindakan antisipasi meluasnya dampak Perang Boer (1899-1902) di Afrika Selatan.
Tak ada yang dibongkar. Dinding dan sudut-sudut gedung ini dibiarkan seperti aslinya. Hanya, langit-langit tempat menara gedung ini dibuka setelah sebelumnya ditutup. Dengan begitu, siapapun dapat melihat interior gedung ini dengan jelas.

Beberapa yang dipamerkan antara lain alat remise atau pendistribusian uang secara fisik dari kantor pusat BI ke Kantor Perwakilan BI di daerah, mesin sandi, timbangan berkel dan mesin tik Hermes. Koleksi numismatika juga dipajang, mulai dari masa kerajaan dan perdagangan nusantara, masa kolonial,awal kemerdekaan, dan numismatika BI, termasuk sejarah arsitektur gedung kantor yang bergaya neo klasikal Eropa hasil rancangan Hulswit, Fermont & (Edward) Cuyper.

Di bagian luar bangunan, kehadiran roof garden juga menjadi "penyegar" dari kebisuan masa lalu gedung ini. Hijau dan sejuk, ini area paling cocok dijadikan venue pertemuan informal terbuka (open air).

"Ini memang sentuhan yang baru agar terlihat segar, sekaligus juga sebagai penyemangat green living," ujar Dani.

M Latief/KOMPAS.com Beberapa yang dipamerkan antara lain alat remise atau pendistribusian uang secara fisik dari kantor pusat BI ke Kantor Perwakilan BI di daerah, mesin sandi, timbangan berkel dan mesin tik Hermes.
Menjaga arsitektur

Awalnya, gedung Cagar Budaya dan Memorabilia Bank Indonesia ini merupakan kantor cabang De Javasche Bank (DJB) ke-15 yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai tindakan antisipasi meluasnya dampak Perang Boer (1899-1902) di Afrika Selatan. Dirancang oleh biro arsitek Hulswit, Fermont dan Edward Cuypers, pembangunannya berlangsung tiga tahun sejak 1915 hingga 1918.

"Kami menyadari, bahwa berbagai kebijakan bank sentral yang mewarnai denyut nadi perekonomian juga dilahirkan dan berasal dari gedung perkantoran BI. Begitu juga dengan gedung BI Bandung ini, telah mewarnai denyut perekonomian kota Bandung, selain juga perjalanan sejarah kota ini," kata Dian.

Untuk itulah, pihak BI, khususnya Departemen Pengelolaan Aset, berupaya keras menjaga kelangsung "museum" ini tengah masih padatnya aktifitas karyawan di dalamnya. Karena bagaimanapun, gedung ini tetap menjadi bagian utuh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI (Jawa Barat dan Banten).

"Lima puluh persen untuk kantor kas, lima puluh persennya sebagai museum. Nantinya, gedung ini benar-benar sebagai destinasi wisata sejarah yang bisa dinikmati umum," ujarnya.

Namun, tak mudah "menjaga" kelangsungan sebuah cagar budaya di zaman serba instan yang selalu ingin memperlihatkan tampilan baru. Pihak BI tidak bisa jalan sendiri, mengurusnya sendiri. Pemerintah daerah dan masyarakat juga perlu ikut menjaganya.

"Sejak kecil anak-anak di Eropa sudah diajarkan dan dikenalkan dengan arsitektur bangunan peninggalan nenek moyang mereka sehingga mereka sangat menghargai arsitektur masa lampaunya sendiri sampai saat ini. Maka, melestarikan gedung bersejarah seperti museum ini harus sejak dini," ujar H.S. Karta Djoemena, mantan pejabat senior BI di Bandung.

Karta mengatakan, sebagai cagar budaya, gedung tua BI ini adalah satu karakteristik untuk dijaga sehingga memerlukan sinergi yang harus dilembagakan. Sinergi menjadi penting, karena peran negara terbatas.

"Sejauh ini saya belum lihat kerjasama sektoral horisontal dalam melestarikan sebuah gedung bersejarah, antara pengelola gedung, pemerintah, dan masyarakat. Kebanyakan jalan sendiri-sendiri. Ini yang sangat disayangkan dan inilah tantangan BI ke depan," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau