Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/04/2014, 17:32 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Derasnya arus dana China ke pasar properti Indonesia dalam dua tahun terakhir dianggap sebagai fenomena yang harus diwaspadai. Risiko akan terjadi adalah potensi membengkaknya nilai utang luar negeri.

Pengamat perbankan, Mochammad Doddy Ariefianto, mengutarakan hal itu terkait agresifnya China menanamkan dananya di sektor properti dan disambut antusias pengembang Indonesia, kepada Kompas.com, Jumat (4/4/2014).

"Meskipun secara agregat belum menunjukkan porsi signifikan, namun bila jumlahnya terus membesar dari tahun ke tahun, akan sangat berisiko. Terlebih, rupiah masih tertekan, dan belum ada jaminan akan menguat dalam beberapa bulan ini," ujar Doddy.

Dana dari China, lanjut Doddy, menunjukkan kecenderungan meningkat karena pasar properti Indonesia masih sangat menarik. Ceruk pasarnya besar dari berbagai segmen, mulai bawah, menengah, hingga atas, dan tingginya daya beli.

"Selain itu, pengetatan yang dilakukan Bank Indonesia terkait kredit konstruksi ikut juga memengaruhi fenomena tersebut. Kebijakan BI menghalangi pengembang melakukan ekspansi pinjaman perbankan. Ini yang mendorong pengembang menempuh jalan lain yakni mencari alternatif pendanaan dari China," kata Doddy.

Khusus emiten properti yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, mereka akan melakukan segala cara, seperti menerbitkan surat utang, dan obligasi perusahaan. Produk keuangan ini akan secara langsung "dicaplok" investor China melalui sebuah fund atau instrumen lainnya.

Spekulatif

Namun, Doddy menilai, pengembang yang mencari dan menyambut antusias dana China tersebut terlalu optimistis, untuk tidak dikatakan spekulatif. Secara fundamental, risiko yang akan timbul sangat besar, mengingat properti sudah terlalu panas (overheating).

Mengutip data Jones Lang LaSalle Indonesia dengan bench mark Jakarta, sejak 2009 hingga 20013, pertumbuhan residensial nyaris 100 persen atau mencapai 20 persen per tahun. Sementara pertumbuhan lebih gila lagi terjadi pada sektor ritel dengan 30 persen per tahun dan perkantoran 200 persen dalam empat tahun tahun atau 40 persen per tahun.

"Pelaku sendiri yang harusnya mengerem ekspansi karena Rupiah masih tertekan. Selain itu, aksi ekspansif dan agresif pelaku usaha di sektor ini tidak in line dengan kebijakan makro Pemerintah yang membatasi KPR melalui loan to value (LTV) dan pembatasan kredit konstruksi," tandas Doddy.

Hanya, kata Doddy, kembali lagi ke masalah hak asasi. Bahwa hak semua orang dan badan usaha untuk berbisnis dengan cara apapun, asal tidak melanggar hukum.

"Mereka sah-sah saja menggaet dana asing, apalagi debt to equity ratio atau rasio utang terhadap ekuitas perusahaan masih di bawah 40 persen atau managable. Jadi, tak mengherankan jika emiten properti sangat agresif, karena mereka masih punya ruang untuk melakukan ekspansi pinjaman," pungkas Doddy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com