"Memang, pasar mengalami perlambatan. Tapi, perlambatan terjadi diperkirakan bukan semata-mata dikarenakan aturan LTV, namun memang secara alamiah properti telah memasuki siklus jenuh akhir tahun," ujar Ali dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (8/1/2014).
Dia mengatakan, selama 2-3 tahun belakangan harga-harga properti mengalami kenaikan fantastis. Namun, di akhir 2013 pasar properti melambat akibat harga sudah terlalu tinggi (over value) dan tidak masuk akal. Namun, hal itu bukan berarti bubble.
"Aturan LTV diterapkan setelah kondisi harga yang sudah tinggi sehingga aksi spekulasi yang diredam sedikit terlambat," kata Ali.
Ali memastikan, perlambatan pasar yang terjadi saat ini bukan dikarenakan LTV. Ada beberapa alasan yang menjadikan aturan LTV itu tidak efektif.
Alasan pertama, menurut Ali, aturan LTV hanya mengatur transaksi pasar properti dalam kaitannya dengan perbankan terkait KPR/KPA, yang sebagian besarnya diperkirakan transaksi terjadi melalui cara pembayaran tunai keras atau tunai bertahap.
Kedua, aturan yang mengatur peningkatan LTV untuk rumah kedua dan seterusnya dengan kenaikan 10 persen tidak terlalu bermasalah bagi konsumen menengah atas. Menurut Ali, saat ini banyak rumah mewah sejenis townhouse yang menjual dengan harga di segmen menengah atas > Rp 1,5 miliar namun dengan tipe bangunan < 70 m2 sehingga tidak termasuk LTV
Tak pelak, dampak yang terjadi kemudian ternyata banyak pengembang menyiasatinya dengan beberapa strategi. Karena aturan LTV untuk tipe bangunan > 70 m2, maka pengembang mulai mengembangkan tipe-tipe dibawahnya seperti T. 54, 67, 69. Dengan kenaikan LTV untuk KPR kedua 40 persen, banyak pengembang menaikkan harganya secara semu dengan strategi cash back guarantee.
"Contohnya, harga rumah Rp 2 miliar dengan aturan LTV yang ada untuk rumah kedua, maka uang muka yang harus dibayarkan adalah 40 persen atau sebesar Rp 800 juta, sedangkan jika KPR rumah pertama hanya 30 persen atau sebesar Rp 600 juta," papar Ali.
Karenanya, Ali melanjutkan, untuk tidak memberatkan konsumen, pengembang menaikan harga menjadi Rp 2,2 miliar dengan cash back yang seakan-akan dikembalikan ke konsumen sebesar Rp 200 juta untuk memberi tambahan pembayaran uang muka. Alhasil, konsumen relatif tetap membayar tidak berbeda dengan KPR rumah pertama.
"Ini memberikan perubahan terhadap kenaikan harga semu di pasar primer. Meskipun tidak terlalu mengkhawatirkan, namun kenaikan harga ini kemudian mempengaruhi kenaikan pasar sekunder yang lebih tinggi lagi," kata Ali.
Dengan kata lain, Ali menegaskan, aturan LTV menjadi tidak efektif di tengah pasar properti yang telah memasuki siklus jenuh dan kecenderunga melambat sampai 2 tahun ke depan. Untuk itulah, aturan LTV saja yang berbasis perbankan tidak cukup untuk meredam spekulasi saat ini, aturan-aturan lain pun relatif tidak akan menjadi efektif ketika pasar properti melambat dan daya beli yang menurun.
"Pengetatan yang dilakukan akan membuat perekonomian akan turut melambat, dan pasar properti menjadi semakin terpuruk. Bank Indonesia diharapkan tidak mengeluarkan aturan baru yang berdampak terhadap memburuknya pasar properti saat ini," ujarnya.
Ali menyarankan, di tengah kejenuhan pasar properti khususnya segmen menengah atas, sebaiknya pemerintah saat ini memberikan perhatian bagi insentif rumah murah dengan naiknya suku bunga KPR yang mulai menggerus daya beli konsumen. Tak hanya sebatas program subsidi FLPP yang tidak juga efektif, melainkan juga harus dirangkai dengan subsidi selisih bunga untuk properti di segmen menengah agar semua lapisan konsumen mempunyai kesempatan untuk memiliki hunian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.