Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kondisi Properti Amerika dan Indonesia, Beda!

Kompas.com - 11/06/2013, 20:29 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Waspada terhadap gelembung harga properti sehingga tak terjangkau lagi, tetap perlu. Namun begitu, lebih penting lagi mengenali gelembung lebih jauh dan bagaimana perbandingannya dengan negara lain, seperti di Amerika Serikat.

Menurut Associate Director Ray White Projects dan Ray White Commercial Erwin Karya, mengenal indikator gelembung properti dibutuhkan agar didapatkan kepastian kapan harus membeli atau menjual properti. Meskipun Bank Dunia dan beberapa analis mengatakan "bubble" harus dikhawatirkan, akan tetapi lebih baik lagi mengambil sikap sebelum benar-benar terjadi.

"Pinjaman bank hanya 3 persen dari Gross Domestic Product (GDP). Sementara Amerika Serikat menjadi krisis pada 2007 karena pinjaman bank-nya mencapai 80 persen terhadap GDP," ujar Erwin kepada Kompas.com, di Jakarta, Selasa (11/6/2013).

Kedua, pembeli properti di Indonesia lebih banyak dengan membayar secara tunai. Sekitar 50 persen kontan, sisanya baru memanfaatkan KPR. Peningkatan jumlah KPR ini memang terjadi secara signifikan, tapi belum melebihi ambang batas dari yang ditentukan Bank Indonesia. Kemudian kalau dilihat lebih jauh lagi, non performing loan (NPL) Indonesia juga masih rendah.

Oleh karena itu, Erwin yakin, Indonesia tidak akan seperti Amerika Serikat yang diterpa krisis. Namun ia tak menampik bahwa pertumbuhan harga tetap saja sangat mengkhawatirkan.

Menurutnya, terjadi "over priced" di beberapa lokasi seperti Menteng, ketimbang tahun lalu. Saat ini, harga pasaran sekitar Rp 70 juta sampai Rp 100 juta per meter persegi. Namun begitu, ada saja yang membeli rumah dengan luasan 500 meter persegi dengan harga setinggi itu dalam waktu singkat.

Meski "over priced" di beberapa lokasi, tapi bila dibandingkan Myanmar, Thailand, Filipina, Indonesia paling rendah. Harga properti CBD Jakarta lebih rendah dibanding  CBD Manila. Apalagi dengan CBD-nya Singapura yang bisa mencapai Rp 300 juta-Rp 400 juta per meter persegi. CBD Jakarta masih berkisar  Rp 50 juta-Rp 60 juta per meter persegi.

"Yang justru harus kita khawatirkan adalah kalangan kelas menengah ke bawah, karena mereka makin sulit mendapatkan properti. Akibat pendapatannya tidak seiring dengan peningkatan harga properti. Jadi, mestinya program seribu menara rusunami harus dimaksimalkan. Harus ada intervensi pemerintah terkait hal ini agar masalah laten keterjangkauan bisa segera diatasi," imbuh Erwin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com