Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta Bisa Punya "Supertall", Asalkan...

Kompas.com - 22/04/2013, 20:10 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Membangun gedung pencakar langit atau "supertall" memang bukan perkara mudah. Bukan pula seperti membalik telapak tangan laiknya legenda-legenda yang biasa diceritakan di bangku sekolah.

Ada banyak hal yang membuat realisasi "supertall" menjadi sangat kompleks. Biaya adalah salah satu unsur penting yang besar pengaruhnya terhadap kelancaran pembangunan. Jika dana yang dialokasikan mencukupi atau syukur-syukur lebih, maka desain arsitektural seaneh, seunik, dan setinggi apa pun bisa diwujudkan. Dengan kata lain, semakin tinggi dan "out of the box" sebuah bangunan, akan kian membengkak pula fulusnya. Di Jakarta saja saat ini ongkos konstruksi sudah berada pada angka 800 dollar AS per meter persegi atau senilai Rp 7,7 juta.

Mudah dimafhumi jika beberapa pencakar langit di Jakarta yang terlanjur dilansir beberapa waktu lalu, seperti Jakarta Tower, BUMN Tower/Khatulistiwa Tower, dan teranyar Signature Tower (Dhanayasa Arthatama) harus mengalami tarik ulur. Entah karena desainnya yang harus direvisi atau juga karena kekurangan "amunisi" tadi.

Sebenarnya, menurut Head of Research and Advisory Cushman and Wakefield Arief Rahardjo, tinggi dan rendahnya sebuah bangunan dampak signifikannya hanya terjadi pada desain arsitektural dan struktur yang memengaruhi efisiensi floorplate-nya. "Dan yang terpenting apakah ruang yang akan disewakan di dalamnya akan terserap pasar pada saat bangunan itu jadi. Untuk Signature Tower yang dalam satu bangunan akan terbagi-bagi dalam beberapa peruntukan (perkantoran, ritel dan hotel), sebenarnya mempunyai kans terserap pasar karena luas bangunannya tidak terlalu besar. Dalam keadaan pasar seperti saat ini harusnya akan terserap dengan baik," ujar Arief kepada KOMPAS.com, di Jakarta, Senin (22/4/2013).

Jika demikian halnya, menjadi pertanyaan besar ketika menara-menara yang dirancang sebagai tengara Ibu Kota Negara itu tak kunjung terbangun. Padahal, pasar properti Indonesia, khususnya sektor perkantoran sedang dalam masa puncaknya.

Kembali, lanjut Arief, kepada obyektivitas dari pengembangannya. Seharusnya para pengembang itu sudah memperhitungkan profitabilitasnya. Karena makin tinggi bangunan, akan makin mahal ongkos konstruksinya. Sementara itu, harga jual akan dikendalikan pasar alias bergantung pada kondisi permintaan dan pasokan.

"Taipei 101 merupakan supertall yang bisa terbangun di tengah kondisi pasar Taiwan yang sedang 'tiarap'. Tidak setinggi Jakarta, bahkan Kuala Lumpur. Namun begitu, semua akan berpulang kepada kesiapan dan pertumbuhan ekonomi. Jadi, jangan sampai pembangunan menara-menara tadi dimundurkan, karena sekaranglah saat yang tepat," tandas CEO Leads Property Indonesia Hendra Hartono.

Catatan berikut ini bisa jadi bahan pertimbangan, permintaan ruang kantor di kawasan CBD Jakarta terutama bilangan Sudirman adalah yang tertinggi saat ini. Terlihat dari harga sewanya yang sudah mencapai 50 dollar AS/m2/bulan atau Rp 484.496. Sebuah pencapaian tertinggi dalam sejarah gedung perkantoran komersial di Indonesia.

Signature Tower atau gedung pencakar langit lainnya bisa saja dibangun, lanjut Hendra, asalkan memenuhi prinsip dasar sebuah pengembangan. Di luar dana, yang harus menjadi konsentrasi pengembang adalah pertama lokasi. Kedua, seperti apa kondisi pasar aktual. Ketiga, fasilitas penunjang seperti ritel dan hotel yang terintegrasi. Keempat aksesibilitas dan parkir yang memadai. Kelima, keamanan yang ketat karena akan ada akses publik seperti dek observasi buat pengunjung, jalur transportasi publik, dan potensi menjadi pusat aktifitas baru Jakarta. Keenam, keamanan bangunan gedung terhadap terorisme, kebakaran, dan gempa bumi.

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com