JAKARTA, KOMPAS.com - Seiring dengan keprihatinan dunia yang semakin besar akan kerusakan lingkungan, berbagai kegiatan dan inovasi bernafaskan go green bermunculan di tanah air. Namun, tampaknya kepedulian tersebut belum benar-benar membudaya di antara masyarakat Indonesia. Setidaknya, hal tersebut belum menjadi keharusan bagi para pemilik perusahaan.
Demikian hal itu terungkap dalam acara bincang-bincang membahas kontribusi pengembang terhadap konsep Jakarta Hijau yang selenggarakan oleh anggota komunitas Skyscraper City Indonesiadi Marketing Gallery Ciputra, Jakarta, Sabtu (16/3/2013). Pada acara tersebut, General Manager Ciputra World Johan Tomara mengatakan, bahwa para penyewa di Ciputra World Jakarta kebetulan banyak dari perusahaan multinasional. Menurut dia, perusahaan Indonesia masih menganggap bahwa memiliki kantor berkonsep ramah lingkungan masih it's nice to have atau menyenangkan memilikinya, bukan must to have (harus memilikinya).
"Padahal, kami, sebagai pihak pengembang, telah berupaya membuat gedung ramah lingkungan bersertifikasi," ujar Johan.
Dalam kesempatan yang sama, Senior Architect Ciputra Ferry Indraseno mengungkapkan, bahwa pada prinsipnya perusahaan sudah berusaha mengikuti aturan main. Seiring berjalannya waktu, perusahaan dan pemerintah sama-sama memiliki kepedulan semakin besar.
"Ciputra World Satu, Dua, dan Tiga akan berlokasi di Jalan Prof. Dr. Satrio. Di lokasi tersebut, semua ada aturannya, bagaimana sisi pejalan kaki, bagaimana kualitas udara, kami memang sudah memiliki komitmen untuk membuat kawasan ini lebih enak dan layak huni," kata Ferry.
Eco drainase
Tokoh gerakan Kota Hijau Jakarta, Nirwono Joga, dalam kesempatan sama mengungkit soal eco-drainase. Menurut dia, "kalender bencana" di Jakarta dapat teratasi, salah satunya dengan sistem drainase ramah lingkungan tersebut. Bukan sekedar membuang air limbah dan air hujan ke laut, eco-drainase justeru mengolah air untuk berbagai kepentingan.
"Pengelola gedung bertanggung jawab menyerap air hujan sebanyak-banyaknya," ujar Nirwono.
Nirwono menjelaskan, dengan menggunakan sistem tersebut, pengaliran air ke sungai yang akan berujung ke laut akan berkurang, bahkan bisa tidak ada sama sekali. Menurutnya, pengelola gedung dapat menggunakan air hujan yang telah ditampung untuk berbagai keperluan, seperti pendingin udara, penyiraman tanaman, dan flush untuk toilet.
Penampungan dan pengelolaan air terbilang penting. Pasalnya, saluran air yang ada di jalan-jalan ibukota tidak lagi mampu menampung luapan air hujan karena minimnya tanah resapan. Di sisi lain, mengenai tanah resapan sudah diatur dan dicantumkan dalam pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Namun, Nirwono menyayangkan adanya penyelewengan dan perbedaan antara izin dan pelaksanaan.
"Konsistensi pemerintah daerah tentang aturan yang dibuat itu penting. Pada dasarnya rencana dibuat dengan maksud baik. Pelaksanaannya yang sering kita langgar," ujar Nirwono.
Selain upaya dari pemerintah, menurut Nirwono, masyarakat dapat turut berpartisipasi. Caranya adalah denggn mengajukan tuntutan atas pihak yang tidak mengindahkan keberadaan ruang terbuka hijau di propertinya.
"Bagi pelanggar, pada dasarnya dari pemohon izin hingga pemberi izin bisa dituntut (karena penyelewengan)," ujarnya. Namun, ia juga menyadari, sampai saat ini belum ada kasus penyalahgunaan yang mendapat penanganan serius.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.