DENPASAR, KOMPAS.com - Pengamat ekonomi dari Universitas Udayana, Prof IKG Bendesa, meminta Pemerintah Provinsi maupun Pemkab dan Pemkot mewaspadai trik pencucian uang yang diduga berkedok pembangunan akomodasi wisata di Pulau Dewata.
"Di Bali menjamur hotel yang menawarkan harga per kamar di bawah Rp 300 ribu. Dengan kondisi demikian, seharusnya banyak hotel merugi, tetapi nyatanya mereka bisa bertahan. Bisa jadi, uang yang diinvestasikan merupakan hasil pencucian uang dan korupsi," katanya saat menjadi pembicara pada Seminar Analisis Kritis Pembangunan Bali Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat, di Denpasar, Rabu (15/8/2012).
Menurut Pembantu Rektor I Unud ini, meskipun Pemprov Bali menetapkan moratorium hotel, namun pertambahannya tidak terkontrol, tingkat hunian dan tarif hotel rendah serta persaingan yang tidak sehat.
"Pemerintah tidak memiliki cetak biru akomodasi hotel, bukannya karena otonomi daerah, tetapi karena tata kelola pemerintahan yang tidak sehat," ujarnya pada seminar serangkaian Dies Natalis ke-50 Unud itu.
Vila tumbuh menjamur, lanjut dia, tetapi tidak banyak menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan. Pemerintah tidak mampu mengendalikannya melalui kebijakan dalam ketenagakerjaan maupun keuangan.
"Ini adalah pertanda adanya gerakan bawah tanah (underground) atau ekonomi bayangan (shadow economy) yang berdampak buruk bagi perekonomian daerah. Kemungkinan, mereka yang melakukan pencucian uang sengaja menginvestasikan dananya dalam bentuk properti dan hotel di Bali," katanya.
Ia juga meminta Pemprov maupun Pemkab dan Pemkot untuk jeli melihat, apakah berkorelasi positif peningkatan pajak hotel dan restoran (PHR) dengan menjamurnya akomodasi wisata.
"Jangan-jangan akomodasi wisata yang diduga hasil pencucian uang banyak tidak berizin serta tidak membayar pajak. Memang, itu tentu memerlukan pembuktian lebih lanjut," ucapnya.
Namun, yang jelas, kata Bendesa, pemerintah sudah sepatutnya memperkuat pengawasan dalam bidang akomodasi wisata agar persaingan yang tak sehat di masyarakat tidak menjadi bertambah parah.
"Saya juga melihat dampak kurang tegasnya pemerintah terlihat pada banyak arsitektur bangunan yang tidak mencerminkan budaya Bali," ujarnya.
Ia menambahkan, terkait dengan hotel, vila, dan akomodasi pariwisata lainnya yang terkonsentrasi di tiga daerah, yakni Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar, itu merefleksikan masih ada kebijakan salah arah dan atau lemahnya pengawasan.
"Sektor pariwisata perlu dikembangkan terus, tetapi dengan arah yang jelas. Masalahnya bukan berada pada sektor pariwisata itu sendiri, tetapi kebijakan pemerintah yang tidak efektif serta lambat dalam merespon perkembangan yang muncul sehingga dampak negatif yang ditimbulkan menjadi luas dan menyebar pada aspek lainnya," kata Bendesa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.