Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah Pusaka, Pondok Jati Rasa

Kompas.com - 04/04/2011, 06:15 WIB

                                                         oleh Maria Hartiningsih dan Wawan H Prabowo

Sejauh mata memandang yang tampak hanya biru permukaan laut, sebiru warna langit ketika matahari bergerak menuju puncak. Dari serambi rumah, di tebing di atas permukaan Laut Selatan di Parangtritis, Yogyakarta, terbentang dataran tak bernama yang menyapa lewat rasa.

Pemandangan itu memaku mata, memunculkan perasaan yang sulit diuraikan dengan kata-kata. Semua unsur yang terlihat, terdengar dan terasa dari serambi rumah itu seperti membentuk orkestrasi yang sempurna: desau angin, debur ombak, desah daun yang bergesekan, gemerisik ranting kering, tarian rumput dan bunga perdu, bau tanah dan batu, suara monyet, serangga, dan fauna yang tersisa di Alas (hutan) Wigude. Tiupan seruling yang meningkahi berasal dari lengkingan burung yang melintas sesekali.

Semua itu seperti berpusat di rumah berarsitektur Jawa, berukuran 9 x 13 meter persegi yang komponen-komponennya melambangkan pertemuan Jawa, Hindu, dan Islam. Pahatan di gelagar menunjukkan rumah itu dibangun tahun 1822, dibiarkan apa adanya. Pun bagian kayu yang lapuk dimakan zaman.

Dinding kaca selebar dua meter menghadap serambi samping dikerangkai gebyok berukir seperti menghubungkan bagian dalam rumah dengan alam yang terbentang di depan. Garis pertemuan kaki langit dengan permukaan laut yang batasnya fatamorgana tampak jelas kalau cuaca cerah. Kadang, garis itu diselimuti kabut, membuatnya tampak seperti gerbang dari suatu tempat yang menyimpan rahasia semesta.

Terjal berbatu ”Selamat datang di Pondok Jati Rasa,” sambut Farsijana Adeney-Risakotta, akrab disapa Nona, seraya merentangkan kedua tangannya.

Sungguh tak mudah mencapai rumah itu. Jalanan terjal berbatu, berkelok-kelok, sempit, mendaki, dan di beberapa bagiannya bersisian langsung dengan bibir jurang sepanjang empat kilometer adalah rute yang harus dilewati, setelah perjalanan 28 kilometer ke arah selatan kota Yogyakarta.

Nona (46) bersama Bernard Adeney-Risakotta (61) yang akrab disapa Adi Satria adalah pasangan ilmuwan pemilik rumah di kawasan hutan seluas delapan hektar itu. Namun, istilah ”pemilik” dalam hukum formal itu dikoreksi Nona. ”Mungkin lebih baik disebut yang bertanggung jawab merawat,” ujar Doktor Antropologi lulusan Radbout Nijmegen Universiteit, Belanda, itu.

Bagian dalam rumah itu disangga delapan tiang. Serambi depan dan samping disangga 13 batang pohon kelapa. Sentuhan modernitas terlihat di area kamar mandi dan kamar tidur, ditandai dengan kloset duduk dan lantai keramik. Bagian dalam ruang berdinding kaca yang kini dihuni kursi malas di depan perapian, dulu adalah ruang kerja eyang buyutnya, yang tak boleh dimasuki sembarang orang.

”Kalau mau masuk, harus minta izin dan harus lewat gebyok, sehingga jalannya harus menunduk, seperti memberi hormat,” ujar Nona yang berdarah Jawa-Ambon itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com