Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masalah Kepemilikan Asing Harus Tuntas Sebelum Kongres Dunia FIABCI

Kompas.com - 12/01/2010, 21:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Persoalan kepemilikan asing dalam properti di Indonesia harus dapat diselesaikan sebelum Kongres Dunia Federasi Real Estate Internasional di Bali Mei 2010. Masalah ini mendesak dituntaskan agar industri properti Indonesia makin memikat.

Demikian diungkapkan Menteri Negara Perumahan Rakyat Soeharso Monoarfa, Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia Teguh Satria, Wakil Ketua Kadin Bidang Properti James T Riady, Selasa (12/1/10).

Menneg Perumahan Rakyat Soeharso Monoarfa menegaskan, persoalan kepemilikan asing masih digodok, dan tentunya lebih cepat selesai lebih baik. Sedangkan Ketua Umum DPP REI Pusat Teguh Satria berharap aturan WNA boleh memiliki properti Indonesia dapat diluncurkan sebelum Kongres FIABCI di Bali.

Saat ini bisnis properti di Indonesia tidak kompetitif dibandingkan di negara-negara Asia lainnya seperti Singapura, Malaysia, Thailand, China, UEA. "Hak tanah di Malaysia dan Singapura bisa mencapai 99 tahun, bahkan sampai 999 tahun," katanya. Di Malaysia, ada program "my second home", di Thailand ada program "long stay", sedangkan di Filipina ada program "retired" yang semuanya mengajak orang asing untuk memiliki properti di sana. "Hanya Indonesia yang tertinggal karena aturan-aturan tidak mendukung industri properti," ungkap Teguh.

James Riady: Sekaligus 80 Tahun
Sementara itu Wakil Ketua Kadin Bidang Properti James T Riady berpendapat, pemerintah hendaknya menuntaskan tiga persoalan sebelum Kongres Dunia FIABCI di Bali digelar.

"Pertama, Kadin meminta hak setiap warga memiliki tempat tinggal atau rumah dihormati. Bagiamana agar aset utama warga bernilai tinggi dan dapat dijadikan modal usaha. Karena itu Hak Guna Bangunan bisa sekaligus 80 tahun. Saat ini kan selalu diperpanjang. Coba bayangkan jika setiap aset warga memiliki nilai dan bisa dijaminkan untuk berdagang," kata Riady yang juga CEO Lippo Group.

Kedua, kata James Riady, kepemilikan asing diizinkan sampai 70-80 tahun. "Di Singapura malah bisa 99 tahun, bahkan 999 tahun. Kita memberi jalan kepada pihak asing untuk ikut membangun Indonesia. Dan ini sudah dilakukan juga negara-negara Asia lainnya, termasuk China dan UEA," katanya. Intinya, kata James, jangan terlalu membatasi asing, tapi berilah insentif. Misalkan pemeriksaan di bandara tak perlu berbelit-belit. "Orang asing kan membawa efek domino yang besar. Mereka punya pembantu, sopir, dokter dan lainnya," tandasnya.  

Ketiga, istilah strata title baik untuk perkantoran maupun apartemen, dan hak pakai, dijadikan satu menjadi istilah hak pakai. "Jika ketiga hal ini dapat dilakukan pemerintah sebelum Kongres FIABCI digelar bulan Mei mendatang, industri properti di Indonesia akan bergerak. Selama ini industri properti di Indonesia belum bergerak, padahal di banyak negara, industri properti sudah bergerak," kata James yang menambahkan, ini bisa diwujudkan tanpa harus menunggu undang-undang jadi.
 
CEO Lippo Group ini mengatakan, kepemilikan asing dalam properti di Indonesia sebaiknya dibatasi, di atas 100.000 dollar AS atau sekitar Rp 1 miliar, mengacu dari harga apartemen papan atas di Jakarta antara 10 juta dollar AS dan 20 juta dollar AS. Kebijakan ini akan memacu pembangunan infrastruktur yang baru dan yang terpenting, industri properti akan makin memikat.

James juga berpendapat seharusnya pemerintah Indonesia menyisihkan 5 persen dari GDP untuk pembangunan infrastruktur. "Selama ini baru 1 persen. Indonesia jelas kalah dari Singapura dan China yang mengalokasikan 5 persen GDP untuk pembangunan infrastruktur," katanya.  
 
 
 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com