Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ardi Joanda: Biaya Kuliah Tinggi, Nekad Tulis Surat ke Ali Alatas (2)

Kompas.com - 07/12/2009, 22:07 WIB

KOMPAS.com -  Lulus SMA tahun 1989, Ardi Joanda berangkat ke Selandia Baru. "Pikiran saya sederhana saja. Saya kuliah di luar negeri karena ingin menjadi lebih baik. Pikiran waktu itu, kalau pulang dari luar negeri, saya akan lebih mudah cari kerja. Tapi persoalannya, dana pas-pasan. Ada yang menyarankan saya mendaftarkan diri ke Australia, tetapi melihat biayanya yang terlalu mahal, akhirnya saya mencoba ke Selandia Baru. Mami mendukung saya. Tapi kuliah di luar negeri sepertinya merupakan ide gila karena secara finansial, keuangan keluarga kami tak mungkin dapat membiayai kuliah saya," cerita Ardi lagi.

Di Selandia Baru, biaya sekolah masih relatif murah. "Saya belajar sambil bekerja. Saya memberanikan diri karena saya berpendapat, kalau saya mau bekerja, pasti dapat menghidupi diri sendiri," katanya. Ardi kemudian melanjutkan pendidikan setara SMA yaitu Selwyn College di Auckland.

Saat akan lulus, Ardi dan siswa lainnya terkejut dengan rencana Pemerintah Selandia Baru menaikkan uang sekolah, dari sebelumnya 1.000 dollar Selandia Baru setahun menjadi 5.000 - 10.000 dollar Selandia Baru setahun. "Kami betul-betul shock. Akhirnya bersama siswa Malaysia dan Singapura, siswa Indonesia melakukan perlawanan agar uang sekolah tidak naik," katanya.

Tulis Surat ke Menlu Ali Alatas

Ardi Joanda menulis surat ke Menteri Luar Negeri Ali Alatas, yang isinya menceritakan keadaan perubahan uang kuliah di Selandia Baru. "Teman Malaysia juga menulis surat yang sama. Pak Ali Alatas menyempatkan diri untuk datang ke Selandia Baru. Melalui cara ini, akhirnya Pemerintah Selandia Baru mengubah kebijakannya. Mereka memberi kesempatan kepada siswa mancanegara untuk mendapatkan beasiswa jika memenuhi persyaratan.  Setelah pengumuman ini, saya belajar siang-malam sehingga lulus dengan nilai A. Saya akhirnya mendapat beasiswa di bidang ekonomi, Commerce and Administration di Victoria University of Wellington selaam lima tahun. Tapi saya menyelesaikannya hanya dalam waktu tiga tahun," cerita Ardi.

Sebenarnya, kata Ardi, keluarga Belanda, Thomas Beuker yang menjadi keluarga angkatnya di Auckland, sudah mengatakan kepadanya agar tidak perlu khawatir. Jika misalnya Ardi tidak mendapatkan beasiswa, keluarga Thomas yang akan mencari cara agar Ardi tetap bisa melanjutkan pendidikan. Demikian pula keluarga angkatnya dari Taiwan, keluarga Pan, menjamin Ardi secara finansial, agar dapat menyelesaikan pendidikan tingginya di Selandia Baru.

"Saya percaya bahwa hidup saya penuh berkah. Kalau kita berbuat baik, pasti hidup kita penuh berkah. Ketika menghadapi masalah, saya selalu bisa mengatasi problem. Walaupun ada dua keluarga angkat yang memberi jaminan finansial, pada akhirnya saya mengandalkan diri sendiri untuk mendapatkan beasiswa agar bisa kuliah," papar Ardi.

Ardi Joanda menegaskan kembali bahwa berbagai pengalaman pahit memberi kesempatan baginya untuk menunjukkan kemampuan. "Berbagai kejadian yang tidak diharapkan dan tidak menyenangkan, malah memberi saya kesempatan untuk menunjukkan kemampuan sesungguhnya," tandasnya.

Otodidak di Bidang Furnitur
Thn 1993, ketika pulang ke Indonesia, Ardi Joanda langsung bergabung dengan grup Da Vinci. Awalnya Ardi diminta merapikan administrasi perusahaan Fissler, perusahaan multilevel. Setelah ada perusahaan kosmetik yang baru dibuka,  Ardi diminta terlibat membantu marketing support. Dan cukup berhasil. Saat Da Vinci  dibuka  tahun 1994, Ardi bergabung sejak dari nol, sejak nebeng dengan Fissler. "Saya tidak hitung-hitungan. Saya menunjukkan talenta saat diberi kesempatan. Kalau itu baik, let's do it. Di Da Vinci, saya belajar otodidak selama 13 tahun," jelasnya.

Perkenalannya dengan urusan desain interior ini sebetulnya sejak dia membantu ayah angkatnya, Thomas Beuker, arsitek dan kontraktor Belanda yang tinggal di Aukland, Selandia Baru. Di sana Ardi menyempatkan untuk belajar mengecat dan memasang wallpaper. "Pengalaman ini ternyata ada gunanya untuk masa depan saya. Makanya kita tidak boleh hitung-hitungan. Potensi harus digali sedalam mungkin tanpa harus hitung-hitungan," katanya.   
 
Ardi bercerita ketika membangun Da Vinci Tower di Jakarta, dia juga belajar bagaimana mengelola pembangunan gedung klasik, yang detil dengan skala besar, tanpa kontraktor utama. "Orang pikir saya insinyur. Saya pernah mendapat surat yang ditujukan kepada Ir Ardi Joanda. Tapi tidak perlu harus menjadi insinyur dulu untuk mengerjakan pembangunan Da Vinci Tower. Intinya kalau mau kita mau belajar pasti bisa. Kalau sekarang saya diminta merancang lima gedung seperti Da Vinci Tower, saya berani. Saya lakukan itu semua tanpa hitung-hitungan karena saya menganggap itu sebagai tempat belajar. Bekerja adalah tempat terbaik untuk belajar, dan dibayar lagi. Kalau kita sekolah, kan harus membayar," ungkap Ardi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com