Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisnis Properti Sudah Kebal Krisis

Kompas.com - 23/10/2008, 10:37 WIB

BELAKANGAN ini banyak kalangan yang khawatir dan bertanya-tanya, akankah dampak krisis finansial global yang terjadi saat ini akan terulang kembali seperti yang pernah kita alami bersama sepuluh tahun lalu ketika krisis moneter ”menghancurkan” perekonomian Indonesia?

Sebenarnya pertanyaan semacam ini telah terlontar lima tahun lalu ketika ekspansi bisnis properti di negeri kita ini begitu bergelora. Pembangunan ruko, apartemen, mal,dan pusat perbelanjaan tak lagi hanya berlangsung di Jakarta, tetapi sudah menjalar ke seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia.

Nah, sekarang pertanyaan yang sama muncul kembali ketika krisis finansial global yang diawali dari Amerika Serikat menjalar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Sangatlah sulit untuk meyakinkan semua orang, apa pun jawaban yang kita berikan. Namun, sangatlah mudah untuk mengatakan bahwa dampak krisis finansial global saat ini tidak akan mengguncang perekonomian negara kita, apalagi menghancurkannya seperti yang terjadi tahun 1998. Mengapa demikian? Karena, situasi dan kondisi sosial ekonomi dan politik di negara kita saat ini amatlah berbeda bila dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu.

Krisis yang terjadi pada saat itu (tahun 1998) adalah puncak dari sebuah perjalanan sejarah bangsa dengan politik yang sangat sentralistik dan tertutup. Belum lagi perekonomian yang sangat bergantung pada utang luar negeri, baik pemerintah maupun pihak swasta.

Dikendalikan pengusaha

Saat itu bank-bank swasta yang dimiliki para konglomerat dan bank-bank pemerintah yang dikendalikan pengusaha yang dekat dengan penguasa begitu berambisi membangun bisnis propertinya yang bersifat jangka panjang dan ditopang dengan dana bank yang bersifat jangka pendek.

Kalangan perbankan pun jorjoran mengucurkan dananya untuk membiayai proyek-proyek properti skala besar alias megaproyek. Ketika itu para bankir demikian agresif menyalurkan kredit ke sektor properti, pengawasan dari Bank Indonesia juga masih sangat lemah. Para bankir leluasa mengucurkan dana pihak ketiga untuk membiayai proyek-proyek properti yang digarap oleh kelompok usahanya sendiri.

Waktu itu, praktik pelanggaran legal lending limit (batas maksimum pemberian kredit- BMPK) dan mark up nilai proyek sangat lazim dilakukan. Ketika perekonomian nasional sedang sehat, melaju kencang di atas 7 persen per tahun, semua borok-borok itu bisa ditutupi. Toh, ada juga beberapa bank yang ”jebol” karena melakukan pelanggaran yang ”kebangetan”.

Ambruknya Bank Summa (1991), Bank Pacific (1995), dan Bank BHS (1997) menunjukkan betapa berbahaya dan besarnya dampak negatif yang muncul dari ”perselingkuhan” perbankan dan pengembang. Maka, ketika krisis mata uang yang terjadi di Thailand yang berawal dari ekspansi bisnis properti lalu menjalar ke Indonesia, tersungkurlah bank pemerintah dan swasta yang sangat getol membiayai bisnis properti waktu itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com