JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah bertugas membangun infrastruktur guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Termasuk infrastruktur dasar seperti sanitasi, bendungan, hingga sarana pendukung pemukiman maupun infrastruktur penunjang konektivitas macam pelabuhan, jembatan, jalan nasional, maupun jalan tol.
Dalam prosesnya, ada dua cara yang bisa ditempuh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan, yaitu menggunakan dana yang dialokasikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berutang.
Baca juga: Fakta Soal Tol Cipali yang Diklaim Sandiaga Tak Pakai Utang
"Kalau biayai proyek sendiri, yaitu murni dengan APBN tanpa utang, pertanyaannya seberapa besar kapasitas APBN," kata Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry Trisaputra Zuna saat dihubungi Kompas.com, Kamis (3/1/2018).
Sementara itu, pendanaan dengan utang juga ada batas maksimalnya. Untuk itu, pemerintah menggunakan cara lain agar infrastruktur dapat tetap dibangun tanpa membebani APBN, yaitu melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU).
"Jadi utang tetap ada, cuma cara berutangnya berbeda. Semua jalan tol itu dibangun dengan skema KPBU. Hanya ada beberapa yang dengan dukungan karena ketidaklaikan, seperti Samarinda-Balikpapan, Manado-Bitung, Cisumdawu, Solo-Kerto, Medan-Binjai. Itu ada dukungan pemerintah," terang Herry.
Pada skema KPBU sendiri, dalam proses pengembalian dananya dibagi ke dalam dua cara, yaitu availability payment (AP) atau penyediaan layanan dan pendapatan.
Cicilan dengan KPBU-AP dilakukan setelah proyek infrastruktur selesai dan dinikmati manfaatnya oleh masyarakat.
"Pemerintah bayar berdasarkan layanannya. Jadi, misalnya, dicicil 15 tahun, lunas barangnya, jadi punya pemerintah," kata dia.
Sementara, cicilan dengan skema pendapatan umumnya digunakan pada proyek jalan tol.
Badan usaha jalan tol (BUJT) selaku pemegang konsesi akan melunasi pinjaman yang diperoleh untuk investasi setelah tol beroperasi dan memiliki pendapatan.
"Misalnya, Lintas Marga Sedaya (LMS) yang mengoperasikan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali), dia bangun dulu 116,75 kilometer, setelah itu dioperasikan, ada pendapatan dipakai untuk mengembalikan investasinya," terang Herry.
Untuk diketahui, dari kebutuhan investasi Rp 12,56 triliun (total investasi menjadi Rp 13,7 triliun), PT LMS melakukan pinjaman 70 persen dari sindikasi perbankan.
Sementara 30 persen sisanya berasal dari 20 persen junior loan yang dianggap sebagai equity, dan 10 persen modal sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.