Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha Mal Keluhkan Lamanya Balik Modal

Kompas.com - 08/05/2017, 21:00 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KompasProperti - Berbeda dengan tahun 1990-an, keberadaan pusat perbelanjaan atau mal tak lagi menjadi tempat mewah.

Bahkan saat ini, masyarakat tak jarang yang memilih berbelanja barang secara daring atau online, ketimbang harus mendatangi pusat belanja.

Baca: Belanja "Online" marak, Pusat Belanja Tetap Bertahan

Menurut Ketua Umum DPP Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) A Stefanus Ridwan, kondisi tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap kemampuan para investor untuk mengembalikan modal yang mereka tanamkan dalam membangun sebuah pusat perbelanjaan.

"Tahun 1990-an itu semua pusat belanja 4 tahun bisa BEP (break even point), kok sekarang bisa dua kali lipat bisa lebih? Sebab penyewa kita bayarnya semakin lama semakin sedikit," kata Stefanus saat Rapat Kerja Nasional APPBI di Sheraton Grand Jakarta, Senin (8/5/2017).

Sekarang, tambah dia, untuk dapat mengembalikan investasi atau return of investment, dibutuhkan waktu paling tidak 10 tahun.

Sigit P Sarwanto Situasi pusat belanja Solo Square pukul 10.30 WIB, Selassa (5/7/2016).
Bahkan, bila sebuah mal tidak terlalu sukses, waktu yang dibutuhkan untuk dapat BEP bisa lebih dari 12 tahun.

Baca: Kebutuhan "Nongkrong" Besar, Toko "Online" Tak Bisa Gantikan Mal

Lambannya proses pengembalian modal, dipengaruhi beberapa hal. Selain karena menjamurnya e-commerce dalam beberapa tahun terakhir, tingginya pajak yang harus dibayarkan pengusaha mal juga menjadi salah satu faktornya.

"Pajak iklan jangan tanya, pajaknya selangit. Dulu kita enggak perlu bayar kan kalau ada pertunjukan musik di mal, sekarang harus kita bayar," ungkapnya.

Menurut dia, lamanya pengembalian modal juga memengaruhi niat investor untuk menanamkan modalnya dalam bentuk pusat perbelanjaan.

Kini, banyak mal dibangun yang tidak sebagai bangunan utama, melainkan bergabung dengan menara perkantoran atau apartemen.

Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya untuk memberikan subsidi silang bila keuntungan yang didapatkan dari pusat perbelanjaan tidak terlalu besar.

Lebih jauh, Stefanus menuturkan, seiring pertumbuhan, mal yang berdiri pada era 1990-an, kini mulai beralih status dari high end ke kelas menengah.

Baca: Mendag Minta Pengusaha Mal Waspadai Pertumbuhan "e-Commerce"

shutterstock Ilustrasi.
Ia memperkirakan, dari seluruh jumlah pusat belanja yang ada di Indonesia, hanya 7 persen yang merupakan mal kelas atas. Sisanya, merupakan mal yang dibangun untuk menyasar kelas menengah ke bawah.

Ia pun mengklaim, dengan banyaknya mal kelas menengah ke bawah, banyak produk dalam negeri yang dijual.

"Jadi bohong kita (hanya) jual produk luar negeri. Memang ada barang branded kita jual di sini supaya orang tidak belanja ke luar negeri, belanjanya di Indonesia saja," tuntasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com