Beperjalanan dari Yogyakarta menuju Muntilan dan Magelang, seperti melangkah di atas mesin waktu yang melintasi ruang-ruang budaya dan tradisi.
Kita seolah ditarik masuk dalam roda kehidupan masyarakat Jawa yang dikelilingi oleh lansekap penuh mistis.
Perjalanan 43 kilometer menuju dataran Kedu dalam sistem daerah aliran sungai (DAS) Kali Progo, dikelilingi gunung-gunung magis Merbabu, Merapi, Sundoro dan Sumbing.
Sudut mata kita tak pelak terpaku pada puncak-puncak yang menjulang, menyiratkan kisah tentang alam yang begitu perkasa.
Kekuatan spiritual koridor dataran ini semakin mencengkeram dengan begitu kokohnya, ketika pemandangan terpapar candi-candi Borobudur, Pawon, Mendut, Asu dan Pandem, Lumbung, Canggal, dan Selogriyo.
Struktur-struktur ruang hidup ribuan tahun silam itu, seolah menjadi ikatan sejarah masyarakat Jawa yang pluralis.
Bagaimana masyarakat Jawa melintas ruang waktu membangun ruang tempatnya hidup?
Tatanan kehidupan warga dan pola ruang hidup tentu tak lepas dari budaya masyarakatnya. Tengok Magelang, tempat asal kupat tahu Slamet yang maknyus di dekat alun-alun kota.
Kota ini berasal dari dukuh kembar Mantyasih dan Glanggang pada zaman Raja Balitung sebagai raja Mataram, yang pada perjalanannya menjadi Magelang.
Pada abad ke-18, Inggris menguasai kota ini, dan menunjuk Mas Ngabehi Danukromo sebagai bupati pertama. Ia membangun alun-alun, masjid, dan rumah residen. Pada 1818, Magelang pun menjadi ibu kota keresidenan Kedu.
Magelang kemudian berkembang menjadi kota pusat ekonomi. Pertandanya, tahun 1918 Belanda membangun Menara Air sebagai utilitas publik.
Untuk pertama kali, listrik masuk Magelang tahun 1927. Magelang pun tumbuh menjadi kota yang asri, cantik, dengan dominasi rancang kota bagian dari akademi militer.
Di tengahnya, menjelang bukit Tidar dengan ketinggian 520 meter, pesona mistik dan spiritual kota semakin menguat.
Magelang yang berpenduduk 130.000 jiwa, tidak bisa lepas dari hikayat gunung Tidar sebagai pakunya Jawa.
Hikayat ini menjadi pijakan tradisi masyarakat Jawa yang percaya akan keagungan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini sangat memengaruhi suburnya budaya Jawa yang pluralis dan menghargai keberagaman sebagai keniscayaan.