JAKARTA, KompasProperti - Sebagai solusi pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), pemerintah memberlakukan subsidi.
Bantuan ini antara lain diberikan melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga, dan uang muka rumah.
Meski demikian, menurut Dosen Hukum Bisnis Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Erica Soeroto, bantuan ini hanya bersifat jangka pendek dan tidak bisa menjadi tumpuan masyarakat.
"MBR itu sudah ada sejak tahun 1980, tapi pemerintah hanya bisa subsidi melulu. Kapan bisa lepas?" ujar Erica kepada KompasProperti, Rabu (22/2/2017).
Pemerintah harus merancang sistem baru yang efisien secara bertahap dan dijalankan dalam jangka waktu panjang.
Jika hanya bergantung pada subsidi, perumahan MBR akan sulit diakses. Karena itu, Erica mempertanyakan, subisidi yang dilanjutkan tidak akan pernah mencukupi.
Terlebih dengan dana yang ada, kemampuan pemerintah dengan jumlah MBR yang harus disubsidi tidak sebanding.
"Tidak bisa dengan subsidi terus, sistemnya yang harus dibetulkan, tanpa pemerintah kasih subsidi," jelas Erica.
Untuk itu, pemerintah harus konsisten, misalnya menetapkan pembiayaan sampai tenor tertentu, sehingga suku bunga terjangkau bagi MBR meski harus mengikuti mekanisme pasar.
Jika bisa menerapkan sistem seperti ini, pemerintah tidak perlu memberi subsidi lagi, tetapi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk MBR tetap terjangkau.
"Bisa saja suku bunga 8 persen, 7 persen, kemudian 6 persen. Turunnya pelan-pelan karena kan mekanisme pasar tidak bisa tiba-tiba," kata Erica.
Ia menambahkan, yang penting arah dan tujuannya jelas, yaitu pemerintah memiliki sistem yang efisien secara keseluruhan.
Sistem pajak
Caranya, pemerintah harus menyadari bahwa pembiayaan perumahan merupakan salah satu sistem utuh dan tidak bisa ditangani setengah-setengah.
Bisa dengan memangkas proses persetujuan KPR yang tidak rumit, dan berbelit-belit, kemudian dari sisi proses lelang yang mudah, atau pemberlakuan pajak yang meringankan.