Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Negara Maju, Rumah Rakyat Jangan Dibangun Swasta

Kompas.com - 13/01/2017, 21:42 WIB
Arimbi Ramadhiani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Lewat Program Nasional pembangunan Sejuta Rumah, pemerintah berupaya mengurangi angka kekurangan atau backlog yang masih sebsnyak 13,5 juta unit.

Masalahnya, dari sejuta rumah tersebut, hanya 10 persen yang benar-benar dibangun pemerintah. Sementara sisanya sebanyak 90 persen dibebankan kepada pengembang properti. 

"Tidak ada negara maju satu pun di dunia yang tulang punggung perumahan rakyatnya adalah pengembang properti," ujar Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar kepada Kompas.com, Kamis (12/1/2017).

Ia mengatakan, pemerintah tidak bisa mengurangi backlog jika hanya bergantung pada Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Kredit Pemilikan Rumah (KPR), organisasi Realestat Indonesia (REI), maupun Asosiasi Pembangunan Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi).

Menurut Jehansyah, asosiasi pengembang tetap bisa berjalan karena akan terus ada orang yang mau membeli rumah.

Selain itu, bisnis pengembang akan tetap jalan karena tetap ada bank yang mau menyalurkan dan ada orang yang mau beli di pinggir kota, seperti di kompleks-kompleks perumahan.

"Tapi, itu bukan perumahan rakyat. Itu hanya 15-20 persen dari perumahan rakyat. Itu pun segmen rumah sederhananya," imbuh Jehansyah.

Ia melanjutkan, di negara-negara maju, ada public housing agency atau badan pengembangan perumahan umum.

Rumah umum ini berupa rumah susun sewa (rusunawa). Pembangunan rusunawa ini seharusnya menjadi tugas Perum Perumnas. Pemerintah bisa menunjuk 10 kota besar untuk pembangunan 10.000 unit rumah di 100 titik.

Kemudian, daerah-daerah bisa mengembangkan Perumda, meniru yang dilakukan Perumnas di 10 kota besar tadi.

"BUMN kita sangat mampu, tergantung penugasan. Kalau tidak ada penugasan, dia (BUMN) jadi kontraktor doang," sebut Jehansyah.

Ia mencontohkan, BUMN karya banyak yang menjadi pengembang dengan membentuk anak usaha bidang properti.

Hal ini terjadi karena BUMN tidak diarahkan untuk membangun perumahan rakyat. Padahal menjadi pengembang perumahan umum bukan berarti merugi.

Syaratnya, BUMN ini harus berumur panjang dan mengambil keuntungan dari peningkatan harga tanah,

"BUMN harus perhatikan keuntungan nilai lahan, itu jadi bisnisnya. Keuntungan ini nggak bisa cuma 5 tahun, minimal 20 tahun-30 tahun," jelas Jehansyah.

Oleh sebab itu, lanjut dia, umur pengembang perumahan umum di kota-kota besar dunia, usianya hampir sama dengan negara tersebut.

Di Singapura, pengembang perumahan umum ini bernama Housing Development Board (HDB). Sampai kapan pun, HDB ini tidak akan dibubarkan oleh pemerintah Singapura.

"Sampai hari ini pun, walau income per kapita mereka sudah 40.000 dollar AS, (HDB) tidak pernah dibubarkan karena tetap ada 30 persen MBR di perkotaan yang tidak mampu membeli rumah di pasaran," pungkas Jehansyah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com