JAKARTA, KOMPAS.com - Pertumbuhan properti yang melambat membuat para pengembang mencari strategi lain untuk mempertahankan bisnisnya.
Strategi ini antara lain dengan mengombinasikan pembangunan rumah komersial dan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Dengan kondisi sekarang ini, kita bertarung atau memperebutkan lahan dengan developer besar yang bangun rumah bukan hanya untuk MBR saja tapi juga menengah ke atas," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Anton R. Santoso di Jakarta, Rabu (28/12/2016).
Masalahnya, menurut Anton, harga tanah semakin melambung tetapi tidak diikuti harga rumah MBR.
Kenaikan harga rumah MBR sendiri hanya 5 persen per tahun dengan menyesuaikan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13/PMK.03/2013.
Pengembang bisa saja tidak mengikuti PMK tersebut atau menaikkan harga rumah masing-masing.
Namun, jika demikian, pengembang tidak mendapatkan keringanan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Penghasilan 1 persen.
Karena mahalnya harga tanah, pengembang besar yang memiliki modal lebih tinggi daripada pengembang kecil, lebih mampu membeli tanah tersebut.
"Mereka (pengembang besar) juga melihat pasar perumahan MBR sangat seksi. Dengan adanya rumah MBR, mereka tertolong karena kredit tidak macet," sebut Anton.
Ia mengatakan, rumah MBR lebih prospektif di tengah perlambatan ekonomi, khususnya karena segmennya adalah penghuni.
Dengan begitu, rumah yang dijual cenderung akan langsung dihuni ketika sudah jadi, dibandingkan rumah komersil yang sering menjadi alternatif investasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.