SEMARANG, KOMPAS.com - Lawang Sewu merupakan salah satu ikon arsitektur bersejarah yang ada di Semarang. Keberadaannya saat ini menjadi obyek wisata yang masih berdiri kokoh di sudut Jalan Pemuda.
Sejarah berdirinya Lawang Sewu sendiri cukup panjang dan melibatkan campur tangan penjajah Belanda.
Pada akhir 1863, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatchappij (NIS) menguasai lahan seluas 18.232 meter persegi berlokasi di Bundaran Tugu Muda Semarang yang dahulunya disebut Wilhelmina Plein, persimpangan Bodjongweg (kini bernama Jalan Pemuda).
Lahan itu kemudian direncanakan untuk menjadi tempat dibangunnya Rumah Penjaga dan Gedung Percetakan. Arsitek bernama P de Rieu ditugaskan untuk merancang desain bangunannya.
Bersamaan dengan itu, P de Rieu juga diminta untuk merancang desain gedung utama yang diperuntukan sebagai Kantor NIS.
Namun sayang, rencana pembangunannya terhambat 40 tahun hingga akhir 1903. Kemudian ditunjuklah Jacob K Klinkhamer (Delft), B J Ouendag, dan C G Cintroen untuk membangun Gedung Utama NIS dengan mengacu pada perpaduan gaya arsitektur tropis dan Eropa.
Pembangunannya pun dimulai pada 27 Februari 1904 dan selesai pada Juli 1907. Proses ini memakan waktu dan biaya cukup banyak lantaran sebagian besar bahan bangunannya diimpor dari Eropa dan merupakan pesanan khusus.
Pihak NIS kemudian memperluas pembangunan di atas lahan tersebut karena gedung A atau gedung utama dirasa sudah tidak memadai lagi. Karena itu, dibangunlah gedung tambahan atau gedung B yang berada di sisi timur laut.
Gedung B dibangun tahun 1916 dan selesai pada 1918 dengan ukuran 23 meter x 77 meter. Gedung ini pun memiliki gaya arsitektur yang sama dengan gedung utama, namun berbeda dari segi konstruksinya.
Gedung B menggunakan konstruksi beton bertulang sehingga dinding batu bata tidak memikul beban, sedangkan bangunan utama menggunakan sistem bearing wall atau struktur dinding memikul.
Selain karena kemajuan teknologi, konstruksi beton bertulang bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan bahan baku lokal.
Pihak NIS telah belajar dari pengalaman karena kerap kesulitan apabila harus terus mengimpor bahan bangunan.
Penamaan Lawang Sewu murni diberikan oleh masyarakat Semarang yang berarti pintu seribu karena jumlah pintu di dalam bangunan ini sangat banyak.
Ketika Kompas.com berkesempatan mengunjungi Lawang Sewu, jumlah pintunya memang benar sangat banyak, namun tidak berjumlah seribu seperti dugaan banyak orang.
Salah satu pemandu di Lawang Sewu bercerita bahwa saat ini jumlah pintu di Lawang Sewu hanya tinggal 928 buah karena banyak dicuri ketika zaman perang.
Saat ini, selain sebagai obyek wisata, Lawang Sewu yang lahannya telah dimiliki oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) juga digunakan sebagai museum kereta api.
Di dalamnya terdapat banyak sejarah, memorabilia, dan ilustrasi tentang industri perkeretaapian Indonesia sejak zaman Belanda.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.