JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, menyatakan saat ini ketersediaan lahan di Jakarta semakin menipis seiring makin padatnya jumlah penduduk. Siapa pun calon Gubernur DKI Jakarta yang bertarung pada Pilkada 2017 mendatang akan menghadapi berbagai persoalan serius tersebut.
Salah satu persoalan Jakarta adalah keterbatasan lahan dan telah membuat pembangunan dan pengembangan kawasan baru tersendat. Padahal, Ali menjelaskan, kebutuhan lahan untuk warga bisa diatur berdasarkan kesepakatan antara pengembang dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, salah satunya dengan mensyaratkan pemberian hunian vertikal.
"Izin seperti itu sangat mungkin diberikan Pemprov Jakarta terhadap pengembang, tapi hunian itu harus dikelola langsung oleh Pemprov DKI," ujar Ali dalam keterangan tertulis, Selasa (16/8/2016).
Mekanisme penyiapan lahan bagi warga menengah ke bawah juga bisa disepakati kedua belah pihak. Yang jelas, menurut Ali, sekitar 20 persen lahan yang dibangun pengembang disiapkan sebagai bentuk fasilitas umum dan fasilitas sosial bagi warga Jakarta.
Ali mengatakan, pasokan lahan diperlukan untuk kelas menengah ke bawah dan juga kelas menengah ke atas. Oleh karenanya, pengembangan kawasan baru tidak boleh hanya dilihat dari kacamata negatif.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) Jakarta, sebanyak 55,61 persen rumah tangga memiliki luas lantai rumah di bawah 50 m2 dan 20,92% di atas 100 m2. Hal itu mengindikasikan semakin sempitnya lahan di Jakarta yang digunakan sebagai hunian.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia Bidang Perdagangan, Benny Soetrisno, sebelumnya pernah menyatakan bahwa penghentian sementara (moratorium) proyek reklamasi Teluk Jakarta perlu dipertegas. Dia meminta nasib moratorium yang sudah dimulai sejak era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, itu segera diputuskan.
"Sebab harga lahan semakin naik. Jadi, permintaan lebih besar daripada penawaran," kata Benny.