Para pembaca pasti pernah menerima pesan berantai tentang memori kisah jadul melalui media sosial. Di salah satu group alumni, saya dikirimi daftar berbagai fenomena, kejadian, nama tokoh dan gambar bagian sudut kota dari tahun 1970-an.
Menurut kawan tersebut, kalau masih ingat hal-hal tersebut maka saya termasuk kalangan yang masa kecilnya bahagia. Saya diingatkan untuk menyadari diri mulai tua!
Bagi saya, Bandung, kota yang selalu memesona sebagai hub kehidupan kreatif dan semangat muda. Sejak menyandang Paris van Java awal 1900 sampai sekarang berpenduduk lebih dari 3 juta, kita terus terpesona oleh "nyawa" Bandung, biar pun sekarang macet dan semrawut semakin menjadi fitur utama kota ini.
Ketika saya sekarang bersepeda dari simpang Dago, turun menyusur Dipati Ukur, ke Gedung Sate, Jalan Banda, dan mengayuh santai sepanjang jalan Progo, memori indah mengais pikiran saya melayang ke masa 40 tahun lalu ketika hidup saya lebih simpel, tidak perlu memikirkan hidup.
Hari-hari dilalui dengan bersepatu roda sepanjang jalan Progo, bersama teman teman karib, tanpa beban memikirkan dunia akan menjadi apa kelak.
Waktu itu almarhum Gito Rollies adalah ikon yang melanda kota Kembang, reputasinya membahana, jalanan ramai dengan tapak-tapak seni rockers gahar ini.
Taman selatan Gedung Sate berbukit-bukit timbunan tanah saat almarhum Popo Hartopo terbang tinggi merajai arena motor trail Indonesia. Di situ pula hajatan anak muda Bandung membuat konser Rock terbuka di taman tersebut. Siapa lagi kalau bukan God Bless dan Ahmad Albar-nya.
Indahnya memori awal 1970-an, ketika kota Bandung masih lengang, penuh pemuda bergaya, dan mata masih bisa segar menikmati karya Schumacher, dari satu gedung art deco ke art deco lainnya. Masih segar dalam bayangan saya wangi kretek, aroma nakal mencurigakan seperti canabbis, dan harumnya bandrek pedas.
Rona kehidupan kota di masa lalu, dan sekarang, sampai yang akan datang, akan selalu terbentuk dari jiwa dan perangai warganya. Manusia tumbuh bersama fenomena sekitarnya yang terus berevolusi menciptakan tren budaya, gaya hidup, busana, musik, bahkan politik.
Kini kota seperti Bandung, dan kota-kota besar Indonesia seperti Surabaya, Medan, Makassar, Semarang, bergulat dengan waktu untuk mampu bertahan seratus tahun ke depan. Kota menjadi ruang bagi warganya berevolusi sebagai kaum urban.
Maka kita pun serta merta ditantang untuk berani meneropong ke depan, seperti apakah “nyawa” kaum urban kita nanti?
Kini tiba tiba kota-kota dunia mendapat tantangan baru, bahkan tak terbayangkan sebelumnya. Serangan mendadak kaum urbanis baru, yaitu monster monster macam Venusaur, Bulbasaur, Pikachu dan pembawa api Charmander tiba-tiba memenuhi ruang kota, memporak porandakan tatanan konvensional fisik kota.
Kaum urbanis baru ini membawa wabah baru di kota yang sudah sempit. Mereka secara masif merangsek ruang-ruang publik, privat bahkan instalasi penting. Kalau dulu, ikon-ikon seperti The Beatles perlu tahunan berkarya untuk menjadi bagian “nyawa” kota Liverpool, sekarang para monster datang dalam jumlah tak terhitung, dan terus muncul di mana-mana.