Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bernardus Djonoputro
Ketua Majelis Kode Etik, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Bernardus adalah praktisi pembiayaan infrastruktur dan perencanaan kota. Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah, dan saat ini menjabat Advisor Senior disalah satu firma konsultan terbesar di dunia. Juga duduk sebagai anggota Advisory Board di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung ( SAPPK ITB).

Selain itu juga aktif sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salzburg Austria. Bernardus adalah Penasehat Bidang Perdagangan di Kedubes New Zealand Trade & Enterprise.

Pikachu, Charmander, dan Ahmad Albar di Kota Kita

Kompas.com - 11/08/2016, 10:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHilda B Alexander

Para pembaca pasti pernah menerima pesan berantai tentang memori kisah jadul melalui media sosial. Di salah satu group alumni, saya dikirimi daftar berbagai fenomena, kejadian, nama tokoh dan gambar bagian sudut kota dari tahun 1970-an.

Menurut kawan tersebut, kalau masih ingat hal-hal tersebut maka saya termasuk kalangan yang masa kecilnya bahagia. Saya diingatkan untuk menyadari diri mulai tua!

Bagi saya, Bandung, kota yang selalu memesona sebagai hub kehidupan kreatif dan semangat muda. Sejak menyandang Paris van Java awal 1900 sampai sekarang berpenduduk lebih dari 3 juta, kita terus terpesona oleh "nyawa" Bandung, biar pun sekarang macet dan semrawut semakin menjadi fitur utama kota ini.

Ketika saya sekarang bersepeda dari simpang Dago, turun menyusur Dipati Ukur, ke Gedung Sate, Jalan Banda, dan mengayuh santai sepanjang jalan Progo, memori indah mengais pikiran saya melayang ke masa 40 tahun lalu ketika hidup saya lebih simpel, tidak perlu memikirkan hidup.

Hari-hari dilalui dengan bersepatu roda sepanjang jalan Progo, bersama teman teman karib, tanpa beban memikirkan dunia akan menjadi apa kelak.

Waktu itu almarhum Gito Rollies adalah ikon yang melanda kota Kembang, reputasinya membahana, jalanan ramai dengan tapak-tapak seni rockers gahar ini.

Taman selatan Gedung Sate berbukit-bukit timbunan tanah saat almarhum Popo Hartopo terbang tinggi merajai arena motor trail Indonesia. Di situ pula hajatan anak muda Bandung membuat konser Rock terbuka di taman tersebut. Siapa lagi kalau bukan God Bless dan Ahmad Albar-nya.

Indahnya memori awal 1970-an, ketika kota Bandung masih lengang, penuh pemuda bergaya, dan mata masih bisa segar menikmati karya Schumacher, dari satu gedung art deco ke art deco lainnya. Masih segar dalam bayangan saya wangi kretek, aroma nakal mencurigakan seperti canabbis, dan harumnya bandrek pedas.

Yamaha Indonesia Gedung Sate Bandung dipenuhi pengguna Yamaha NMAX.
Ya, aroma masa muda yang serta merta membawa kita pada masa-masa di mana KTP masih bisa dipakai hutang makan di warung karena belum ada kartu kredit.

Rona kehidupan kota di masa lalu, dan sekarang, sampai yang akan datang, akan selalu terbentuk dari jiwa dan perangai warganya. Manusia tumbuh bersama fenomena sekitarnya yang terus berevolusi menciptakan tren budaya, gaya hidup, busana, musik, bahkan politik.

Kini kota seperti Bandung, dan kota-kota besar Indonesia seperti Surabaya, Medan, Makassar, Semarang, bergulat dengan waktu untuk mampu bertahan seratus tahun ke depan. Kota menjadi ruang bagi warganya berevolusi sebagai kaum urban.

Maka kita pun serta merta ditantang untuk berani meneropong ke depan, seperti apakah “nyawa” kaum urban kita nanti?

Kini tiba tiba kota-kota dunia mendapat tantangan baru, bahkan tak terbayangkan sebelumnya. Serangan mendadak kaum urbanis baru, yaitu monster monster macam Venusaur, Bulbasaur, Pikachu dan pembawa api Charmander tiba-tiba memenuhi ruang kota, memporak porandakan tatanan konvensional fisik kota.

Kaum urbanis baru ini membawa wabah baru di kota yang sudah sempit. Mereka secara masif merangsek ruang-ruang publik, privat bahkan instalasi penting. Kalau dulu, ikon-ikon seperti The Beatles perlu tahunan berkarya untuk menjadi bagian “nyawa” kota Liverpool, sekarang para monster datang dalam jumlah tak terhitung, dan terus muncul di mana-mana.

Dok. HaloMoney.co.id Pokemon GO
Wabah baru ini terjadi di kota, warga terjangkit fixasi terhadap para monster. Ciri-ciri akibat wabah ini pada warga kota sangat mencolok, yaitu kepala yang selalu menunduk, fokus terganggu karena obsesi, dan mata jelalatan sambil mengacung-acungkan smart phone. Tersenyum, ketawa, lirik-lirik, tak peduli sekitarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com