Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bernardus Djonoputro
Ketua Majelis Kode Etik, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Bernardus adalah praktisi pembiayaan infrastruktur dan perencanaan kota. Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah, dan saat ini menjabat Advisor Senior disalah satu firma konsultan terbesar di dunia. Juga duduk sebagai anggota Advisory Board di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung ( SAPPK ITB).

Selain itu juga aktif sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salzburg Austria. Bernardus adalah Penasehat Bidang Perdagangan di Kedubes New Zealand Trade & Enterprise.

Harapan Menuju Keteraturan Tata Ruang

Kompas.com - 20/05/2016, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHilda B Alexander

Banyak kalangan saat ini tersadar, bahwa aturan tata ruang ternyata menjadi faktor penting berbagai kejadian penting di sekitar kita. Dari isu pemilihan kepala daerah, pembangunan infrastruktur yang kian tersendat, penggusuran masyarakat rentan, sampai penyediaan perumahan masyarakat tak mampu, memiliki dimensi aturan tata ruang.

Tata ruang menjadi aturan utama, dan malahan sering dijadikan alasan politis untuk membangun atau tidak membangun.

Berdirinya Kementerian Agraria dan Tata Ruang pada akhir tahun 2014 lalu, sempat membangunkan harapan akan pelaksanaan pembangunan nasional lima tahun ke depan dan agenda land-reform  Kabinet Kerja Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla.

Sudah terlalu lama penataan ruang dan perencanaan wilayah Indonesia dianggap sebagai salah satu urusan infrastruktur dan sektoral. Namun angin segar itu tak kunjung berhembus, karena selama 1,5 tahun berdirinya lembaga ini, menteri tidak memiliki direktur jenderal yang membawahi perencanaan maupun pemanfataan dan pengendalian ruang.

Akibatnya, cukup fatal. Berbagai masalah pelik dan penting di negeri ini terjadi di saat kekosongan tersebut dalam 18 bulan terakhir. Sebutlah kontroversi reklamasi Teluk Jakarta dan penggusuran masyarakat di kawasan bahari Penjaringan.

Masalah konflik antara masyarakat dengan pemerintah kota karena pengaturan Rencana Tata Ruang yang tidak melakukan proses bottom up planning  secara komprehensif. Belum lagi rencana pembangunan kota di atas tanggul raksasa, mengatasnamakan National Capital Integrated Coastal Defence (NCICD) yang masih perlu diperdebatkan pijakan teknisnya.

Harapan Indonesia untuk lepas dari jeratan kemandegan pembangunan infrastruktur tersendat karena proyek prioritas infrastruktur yang menyebar di berbagai wilayah Indonesia terkendala aspek aturan tata ruang.

Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional mengatur 250 proyek nasional dan 30 proyek prioritas tersebut termasuk di antaranya Jalan Tol Balikpapan-Samarinda, Manado-Bitung, Panimbang Serang, Trans Sumatera.

Kemudian Kereta Api Express Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta, Makassar-Pare Pare, juga Pelabuhan Hub International Kuala Tanjung, dan Bitung.

Selain itu, ada  6 pembangkit listrik dan sistem distribusi listrik di Jawa dan Sumatera. Berikutnya kilang minyak Bontang, Tuban dan revitalisasi kilang yang ada saat ini. Beberapa kota juga akan membangun air bersih dan manajemen limbah.

Begitu banyak konflik mendasar antar-sektor yang seolah tidak berkesudahan. Pertumbuhan ekonomi, investasi dan percepatan pembangunan infrastruktur dasar seperti pelabuhan, jalan, instalasi air bersih, kawasan ekonomi khusus dan instalasi tenaga listrik terhambat karena berbagai hambatan konflik sektoral.

Kerancuan hampir selalu terjadi pada kegiatan sektor di pesisir dan matra laut seperti pengembangan daerah pesisir dan daerah rentan bencana.

Kelayakan pemanfaatan ruang menjadi aspek kritis dalam semua produk politik perencanaan di tanah air. Hal ini kemudian berujung pada lambannya keputusan pemerintah terhadap pemanfaatan ruang, maupun pada perubahan atas peruntukan ruang tersebut.

PRESIDENTIAL PALACE/ Agus Suparto Berdasarkan pantauan udara dengan helikopter, aktivitas reklamasi masih tetap berlangsung di Pulau G yang terletak muka bibir pantai Muara Karang di sebelah barat Pantai Mutiara, Kamis (14/4/2016). Kegiatan masih berlangsung dengan melibatkan berbagai alat berat dan beroperasinya tongkang pengangkut pasir.
Penerjemahan ruang yang cenderung hanya terfokus pada daratan, menyebabkan adanya kekosongan aturan, norma maupun sampai kepada petunjuk pelaksanaan, terhadap dimensi ruang tanah, bawah tanah, laut, bawah laut, udara, sampai ruang budaya.

Demikian pula dengan usaha inventarisasi sumberdaya dalam pengembangan pola tata ruang serta koordinasi pelaksanaan pola tata ruang sebagai dasar kebijakan pengembangan wilayah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com