Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pertumbuhan Industri Keramik Terganjal Harga Gas dan Listrik

Kompas.com - 08/03/2016, 16:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pertumbuhan industri keramik tahun ini diperkirakan turun dari pencapaian tahun lalu. Kapasitas terpasang atau installed capacity keramik tahun 2016 hanya 440 juta meter persegi.

Sementara tahun 2015 lalu, industri keramik Indonesia masih sanggup memproduksi 550 juta meter persegi. (Baca: Pasar Keramik Asia Tenggara Tembus 1,8 Miliar Meter Persegi)

Menurut Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Elisa Sinaga, hambatan terbesar yang mengganjal pertumbuhan industri keramik dalam negeri adalah harga gas dan tarif listrik yang tidak kompetitif.

"Padahal penggunaan gas dan listrik itu menelan 35 persen ongkos produksi keramik. Ini sangat berat," ungkap Elisa saat temu media Keramika 2016 di Hotel Mulia, Jakarta, Selasa (8/3/2016). 

Karena itu, Asaki berharap pemerintah segera merealisasikan deregulasi kebijakan dalam Paket Ekonomi III yakni menurunkan harga gas dan tarif listrik untuk industri.

Sebagaimana diketahui, dalam paket ekonomi tersebut pemerintah telah menetapkan harga gas untuk pabrik dari lapangan gas sesuai dengan kemampuan daya beli industri pupuk yakni sebesar 7 dollar AS million metric british thermal unit (MMBTU).

Sementara harga gas untuk industri lainnya (seperti petrokimia dan keramik) akan diturunkan sesuai dengan kemampuan industri masing-masing.

Penurunan harga gas dimungkinkan dengan melakukan efisiensi pada sistem distribusi gas serta pengurangan penerimaan negara atau PNBP gas.

"Penurunan harga gas untuk industri tersebut seharusnya berlaku efektif mulai 1 Januari 2016. Namun sampai saat ini belum terlaksana," timpal Wakil Ketua Umum Asaki Edy Suyanto.

Demikian halnya dengan tarif listrik untuk pelanggan industri I3 dan I4 yang seharusnya juga turun mengikuti merosotnya harga minyak bumi (automatic tariff adjustment).

7 Dollar AS

Tetapi, pada kenyataannya harga gas dan tarif listrik masih bertengger di posisi normal. Khusus untuk gas, saat ini harganya masih 9 dollar AS.

Harga tersebut sama mahalnya dengan harga gas di Jepang yang memang minim sumber daya alam gas. Sementara harga gas di negara-negara Asia Tenggara lainnya macam Malaysia dan Thailand terhitung kompetitif, yakni masing-masing 4 dollar AS dan 8 dollar AS. 

"Idealnya harga gas itu memang 7 dollar AS seperti yang ditawarkan pemerintah dalam Paket Ekonomi III," imbuh Edy. (Baca: Pameran Keramik Terbesar Kembali Digelar)

Masih mahalnya harga gas dan juga tarif dasar listrik, kata Edy, tidak membantu menambah daya saing Indonesia di pasar Asia Tenggara. 

Sebaliknya, justru malah menelan korban tiga produsen dan pabrikan keramik untuk menyetop produksinya. 

"Hal ini, tentu saja memengaruhi pertumbuhan industri keramik dalam negeri," pungkas Edy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com