Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bappenas Tumpul, Kementerian ATR Harusnya Jadi Perencana Visioner

Kompas.com - 23/12/2015, 23:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Setahun naiknya urusan tata ruang menjadi level kementerian pasca berdirinya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), belum memperlihatkan kontribusi apa pun dalam menelurkan mahzab perencanaan Indonesia yang visioner.

Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Bernardus Djonoputro memaparkan penilaian kinerja Kementerian ATR/BPN, kepada Kompas.com, Rabu (23/12/2015).

Menurut dia, hampir tidak ada terobosan berarti yang diproduksi kementerian baru ini di sektor perencanaan tata ruang.

Padahal, permasalahan konflik ruang, peralihan guna lahan di kota-kota Indonesia, reklamasi dan penyelesaian 5.000 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sudah sangat terlambat.

Karena itu, Kementerian ATR/BPN harus inovatif dalam menciptakan pola perencanaan yang mengakomodasi dinamika zaman.

Hal ini merupakan suatu keharusan karena bidang teknokratik perencanaan tata ruang dan perencanaan kota-kota di Indonesia belum fokus.

Padahal kepemimpinan Ferry Mursyidan Baldan, selaku Menteri ATR/Kepala BPN sangat diharapkan.

"Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) luar biasa tumpul, outdated dalam menyusun strategi kota-kota, tidak inovatif, dan cenderung mendaur ulang pola perencanaan lama. Di sini harusnya Kementerian ATR/BPN punya visi," tutur Bernardus.

Dia menambahkan, karena Bappenas tumpul, seharusnya Kementerian ATR/BPN mendorong peran aktif Direktorat Jenderal (Ditjen) Tata Ruang demi memberikan penguatan dan fokus kepada menteri.

Sayangnya, sampai saat ini belum ada Ditjen Tata Ruang dan Ditjen Pemanfaatan Ruang yang definitif, sehingga semua berjalan parsial.


www.shutterstock.com Ilustrasi.
Mendesak bagi Indonesia untuk dapat bergerak menjadi negara maju berdaulat, mampu memenuhi ruang layak hidup bagi rakyatnya, memberikan kepastian hukum dan tatanan kelembagaan dalam manajemen dan perencanaan tata ruang darat, laut, dan udara.

"Urgensi saat ini termasuk beberapa hal. Pertama, kepastian hukum aspek perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang, dan peran profesi perencana harus eksplisit diatur," imbuh Bernardus.

Terlebih, kata Bernardus, dalam rangka persiapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan kekuatan sertifikasi perencana menjadi garda rejim perencanaan yang mumpuni.

Revisi regulasi

Akumulasi pengetahuan yang sudah terkumpul selama ini baik di Direktorat Jenderal Tata Ruang maupun lembaga adhoc semacam Badan Koordinasi Penataan Ruang nasional (BKPRN) harus dijadikan modal.

"Kami masih dibingungkan oleh tumpang tindihnya kebijakan kota dan kualitas rencana yang dihasilkan berbagai lembaga seolah tidak berkoordinasi seperti Bappenas, dan Kemenko Perekonomian," tandas Bernardus.

Arimbi Ramadhiani Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan
Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN harus mulai memberikan perhatian dan fokus lebih pada perencanaan, bukan hanya masalah agraria.

Aspek kepatutan dalam penyelenggaraan prosedur perencanaan tata ruang juga diperlukan karena untuk melaksanakan proses perencanaan membutuhkan persyaratan minimum sehingga dapat mencegah buruknya kualitas produk rencana tata ruang.

Untuk itu IAP akan memperjuangkan revisi Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan menambahkan pasal yang spesifik mengatur aspek pelaksana perencana, sertifikasi profesi perencana, kode etik dan aturan bagi pekerjaan merencana di pasar Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com