"Saya rasa masalahnya adalah bahwa penduduk Indonesia itu butuh edukasi untuk hal tersebut karena pemikiran yang ada sekarang hidup itu ya di atas tanah," ucap arsitek PT Arya Cipta Graha, Cosmas Gozali, kepada Kompas.com, di Jakarta, Kamis (11/12/2015).
Cosmas menuturkan saat ini untuk tinggal di apartemen saja masyarakat masih sulit apalagi hidup di atas air. Dia memperkirakan butuh waktu beberapa generasi untuk bisa merealisasikan upaya itu.
Belanda, Inggris, Nigeria, dan China adalah negara-negara yang telah membuat bangunan di atas air. Mereka memiliki satu alasan sama, yakni ketiadaan lahan untuk membangun.
"Di Inggris, kami tidak kekurangan air dan hujan tetapi kami kekurangan rumah dan lahan untuk membangun," kata arsitek dRMM, Alex de Rijke.
Demikian halnya dengan Belanda yang seperempat wilayahnya berada di bawah permukaan laut.
Namun untuk saat ini Indonesia belum menghadapi kondisi seperti yang terjadi di Inggris. Indonesia masih memiliki cukup banyak lahan untuk dijadikan lokasi proyek pembangunan baik rumah tapak maupun apartemen.
"Belanda memang nggak punya pilihan, di Venezia juga mereka nggak punya pilihan tapi kalau di kita itu masih banyak pilihan. Karena itu banyak yang masih memilih untuk hidup di atas tanah," jelas Cosmas.
Meski begitu, Cosmas menyarankan pemerintah untuk tidak membangun rumah tapak terutama dalam merealisasikan Program Nasional Pembangunan Satu Juta Rumah, melainkan rumah vertikal atau apartemen.
Indonesia, menurut Cosmas harus mampu menjaga ketersediaan lahan dengan tidak serta merta terus membangun tanpa memikirkan masa depan generasi penerus.
"Kita nggak bisa terus foya-foya dengan tanah. Kita harus memikirkan 50 generasi ke depan. Kalau kita terus foya-foya kita nggak akan punya tempat tinggal di masa depan," tandasnya.