Ia menyebutkan, harga pv solar di pasar global sudah berada pada level di bawah 60 sen dollar AS per watt. Angka ini, jauh lebih murah dibandingkan beberapa tahun sebelumnya saat pv baru diperkenalkan, yaitu 4 dollar AS per watt. Selama 10 tahun, penurunannya bisa 80 persen.
Daniel juga memprediksi, penurunan ini akan terus terjadi hingga tahun-tahun mendatang. Mahalnya harga panel surya disebabkan karena tingginya biaya distribusi atau logistik. REC sendiri, belum memiliki pabrik di Indonesia sehingga harus mengimpor dari Singapura.
Namun, menurut dia, dengan dorongan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui subsidi APBN penggunaan panel surya, harganya nanti bisa jauh lebih terjangkau. Saat ini, kata Daniel, kepedulian pemerintah terhadap lingkungan terlihat dari wacana pemasangan panel surya di atap gedung pemerintahan. Meski belum final, diperkirakan panel surya yang dipakai di gedung pemerintah bisa membangkitkan listrik 620 megawatt.
Peluang konsumsi tenaga surya di Indonesia, lanjut Daniel, cukup tinggi. Mengingat, Indonesia memiliki populasi terbesar ke empat dunia dengan total penduduk lebih dari 250 juta jiwa dan pertumbuhannya 2-2,5 persen. Dengan jumlah ini, Indonesia menguasai 3,49 persen populasi dunia. Sementara dari pertumbuhan konsumsi energi, kenaikannya 7 persen per tahun. Ditambah lagi, harga ritel listrik tumbuh 6-8 persen.
Daniel juga mengatakan, REC memiliki beberapa produk untuk memperluas pangsa pasarnya. Produk ini antara lain bisa dipasang di atap rumah, tembok, balkon, fasad, dan juga tempat parkir. Meski begitu, REC masih fokus terhadap produksi panel surya untuk atap rumah.
"Segmentasi bisnis komersial dan industri, memiliki atap yang besar sehingga tepat untuk pemasangan solar," tandas dia.