Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harga Rumah Tidak Naik

Kompas.com - 07/07/2015, 13:17 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sepi pembeli. Inilah gambaran aktual yang terjadi di kantor-kantor marketing para pengembang selama semester pertama 2015. Baik di kawasan Jadebotabek maupun di daerah. 

Melambatnya ekonomi yang berdampak pada tergerusnya daya beli pasar, dituding sebagai biang keladi anjloknya penjualan properti. Terutama jenis hunian tapak (landed house). 

Wakil Ketua Kadin Sumatera Utara Bidang Properti dan Infrastruktur, Tomi Wistan, mengatakan, penjualan rumah di Kota Medan, dan kota-kota lainnya di wilayah Sumatera Utara sangat lambat. Terlebih saat Ramadhan dan jelang Lebaran ini.

"Pasar masih adem-ayem saja, dan karenanya kami memilih untuk tidak menaikkan harga jual," ujar Tomi kepada Kompas.com, Selasa (7/7/2015). 

Lesunya pasar ini, bahkan direspons Relife Property Group dengan melancarkan gimmick pemasaran guna menarik minat pembeli. Untuk seluruh produknya yang tersebar di Jadebotabek, pengembang yang berbasis di Jakarta Selatan ini, mematok angka Rp 5 juta.

Artinya, hanya dengan Rp 5 juta, pembeli sudah bisa memiliki rumah seluruh tipe yang mereka pasarkan tanpa dibebani biaya lain-lain. 

CEO Relife Property Group, Ghofar Rozaq Nazila, mengakui kondisi sulit sehingga momentum untuk meraup penjualan tidak sesuai ekspektasi. Jadi, untuk menyiasati agar produk-produknya terjual, Relife Property memutuskan tidak menaikkan harga.

"Enggak ada rencana kenaikan harga jual. Pasarnya masih lesu," kata Ghofar.

Saat ini, Relife Property Group tengah memasarkan perumahan Greenland Forest Park Residence di Sawangan, Depok, dan Relife Greenville di Cileungsi, Bogor.

Harga turun

Sementara di Sulawesi Selatan, harga rumah justru turun. Menurut Ketua DPD REI Sulawesi Selatan, Raymond Arfandy, turunnya harga rumah tersebut sudah berlangsung sejak tiga bulan silam. Bahkan, di beberapa kawasan dalam area pengembangan Maminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar), terjadi perang harga.

"Para pengembang mulai berani banting harga demi menarik pembeli. Mereka terpaksa melakukan itu, karena sepi pembeli. Sementara di sisi lain, mereka harus mempertahankan arus kas (cashflow)," ungkap Raymond.

Dia menjelaskan, fenomena banting harga, adalah strategi terakhir yang ditempuh para pengembang. Sebelumnya mereka menjalankan berbagai strategi mulai dari bebas uang muka, bonus perlengkapan rumah tangga, bebas biaya pengurusan BPHTB, bebas biaya provisi KPR dan lain-lain.

Namun, kata Raymond, strategi tersebut menemui kegagalan. Pembeli tetap sepi. Penjualan terus merosot drastis. Para pengembang pun kemudian dikejar-kejar kewajiban harus membayar kontraktor, pemasok material bangunan, dan juga karyawan.

"Ini adalah akumulasi dari kebijakan pemerintah yang memberlakukan pengetatan kredit melalui loan to value (LTV) September 2013 lalu, dan pembatasan kredit inden. Selain itu, sepinya pembeli juga karena ekonomi memang sedang lesu," beber Raymond.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com