"Revisi itu diberlakukan untuk pemerataan. Kalau Rp 5 miliar dikatakan tidak mewah, sekarang masih banyak kok yang tidak punya rumah," ujar pengamat properti Panangian Simanungkalit kepada KOMPAS.com, Minggu (17/5/2015).
Panangian mengatakan, wacana peraturan itu sempat ditolak oleh pengembang karena takut produk mereka tidak laku lantaran harganya menjadi lebih mahal. Padahal di sisi lain, perumahan di Indonesia masih banyak yang harganya di bawah dua miliar rupiah.
"Di daerah-daerah bahkan masih banyak yang di bawah Rp 500 juta," ujarnya.
Oleh sebab itu, lanjut Panangian, pemerintah tidak perlu mendengarkan teriakan dari para pengembang itu. Pasalnya, pengembang, bagaimanapun juga, mencari keuntungan dari hasil penjualannya. Ia mendukung pemerintah untuk melanjutkan peraturan tersebut, meskipun pemerintah harus mengalah dengan menaikkan batas minimal kategori barang mewah, yaitu Rp 5 miliar.
"Rp 2 miliar juga tidak masalah sebenarnya. Kalau dibilang di Jakarta segitu tidak mewah, ya tidak juga. Di Jakarta orang miskin juga banyak. Lihat saja yang tinggal di pinggiran sungai dan daerah-daerah kumuh," kata Panangian.
Sebelumnya, pemerintah berencana mengenakan Pajak Penghasilan atas Barang Mewah (PPnBM) pada rumah dengan harga jual atau pengalihan lebih dari Rp 10 miliar dan luas bangunan lebih dari 500 meter persegi, menjadi Rp 2 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi. Begitu pula dengan apartemen, kondominium dan sejenisnya.
Namun demikian, pemerintah tengah mempertimbangkan untuk memberlakukan PPnBM pada rumah dengan harga minimal sebesar Rp 5 miliar dengan tarif PPnBM 10 persen. Kemudian harga Rp 7,5 miliar sebesar 15 persen, dan harga di atas Rp 10 miliar sebesar 20 persen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.