"Indonesia tidak akan terdampak meskipun terkoneksi secara global melalui investasi internasional. Pasar properti kita itu belum mencapai puncaknya masih terus booming dan booming lagi. Kita masih jauh tertinggal dibandingkan China, Hong Kong, Singapura, bahkan India," terang Jopy.
Terlebih, lanjut dia, Indonesia menjadi destinasi investasi banyak perusahaan multinasional yang melakukan ekspansi bisnisnya.
"Perusahaan padat modal dan tenaga kerja macam otomotif dan manufaktur mengalihkan fokus produksinya ke Indonesia dari sebelumnya di Thailand. Mereka merencanakan menggenjot ekspor hingga tiga juta unit," tutur Jopy.
Pernyataan itu diperkuat oleh Chief Marketing Officer Orange County, Stanley Ang. Stanley mengatakan, faktor-faktor itu merupakan stimulan utama yang mendorong pasar properti Indoneia tetap atraktif meskipun pasar global mulai melambat.
"Pasar properti Indonesia menawarkan aset yang pantas untuk dilirik bagi investor yang mencari keuntungan. Harganya masih jauh lebih rendah. Saat ini saja, di koridor timur Jakarta dengan basis ekonomi industri masih sekitar Rp 12,5 juta per meter persegi," kata Stanley.
Nantinya, dia memprediksi, lima tahun lagi akan tumbuh 55 persen dan koridor timur Jakarta akan menjadi opsi utama investasi.
"Saat itu perusahaan-perusahaan yang ekspansi mulai mengoperasikan pabrik barunya. Ribuan tenaga kerja yang dilibatkan tentu membutuhkan hunian atau properti representatif lainnya," ujarnya.
Jadi, timpal Jopy, dicabutnya injeksi dana oleh Bank Sentral AS, The Fed, tak berpengaruh langsung terhadap pasar properti di Tanah Air, dalam arti transaksi jual dan beli. Hal itu hanya akan sedikit mengganggu pasar modal atau perusahaan properti yang hanya mengandalkan pembiayaan dari bursa efek.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.