Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UU Rusun Lemah, Konflik Penghuni-Pengembang Tambah Panas!

Kompas.com - 06/06/2014, 19:43 WIB
Tabita Diela

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Masalah seputar penghunian dan pengelolaan rumah susun (rusun) akhir-akhir ini kembali mengemuka. Bahkan, dalam dua tahun belakangan ini, pertikaian tersebut justru mengalami ekskalasi.

Pemerintah dianggap tidak serius mengatur rumah susun. Pemerintah cenderung melakukan pembiaran, ketimbang pemeliharaan. Sekalipun dalam bentuk regulasi.

Demikian pendapat pengacara properti Erwin Kallo dalam diskusi mengenai pengelolaan rumah susun di Jakarta, Jumat (6/6/2014). Diskusi menghadirkan pembicara pengacara properti Erwin Kallo, pakar komunikasi publik Effendi Gazali, Ketua PPPSRS Amran, praktisi manajemen properti Bambang Setiobudi, serta pengamat rumah susun Amazon Sinaga dan Sujoko.

"Regulasi atau undang-undang yang disusun pemerintah masih lemah dan berpotensi menimbulkan konflik antara penghuni, pemilik dan pengembang serta pengelola rumah susun," ujar Erwin.

Selain lemahnya regulasi, pengamat rusun Amazon Sinaga mengatakan, masalah rusun kian rumit karena pemerintah pusat dan daerah punya sikap berbeda. "Pengamatan saya, kekurangan pemerintah dalam menyingkapi perundang-undangan. Apa yang saya lihat, berbeda sikap pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir tidak ada pembatasan apa yang dilakukan keduanya," ujarnya.

Potensi konflik

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun pun menurut Amazon belum mengatur segala hal mengenai rusun. Karena itu, ketidakpastian bisa memicu konflik di lapangan. Selain itu, peraturan pelaksana, mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan peraturan lainnya pun belum terbit. Tidak heran bila konflik antara penghuni rusun dan pengembang bisa terjadi.

"Pemerintah belum memahami bahwa properti ini sudah menjadi satu industri. Satu proyek melibatkan 175 industri, mulai dari paku hingga lain-lain. Seharusnya pemerintah memelihara industri ini dengan membuat regulasi dan memastikan regulasi ini berjalan serta diawasi, jangan dibiarkan berjalan sendiri," ujarnya.

Selain itu, dia juga mengungkapkan bahwa sulit mencari titik temu dalam konflik yang terjadi. Hal ini ditambah lagi adanya kecurigaan bahwa para penghuni pun mudah terhasut.

“Di samping lemahnya (kurang tegas) regulasi yang mengatur kehidupan rumah susun di Indonesia, sehingga dapat ditafsirkan sesuai kepentingan masing-masing pihak, sulitnya mencari titik temu (solusi) dari persengketaan-persengketaan di rumah susun, karena protes-protes dalam bentuk demostrasi oleh sebagian kecil pemilik atau penghuni unit rusun, diduga  telah disusupi oleh para avonturir dari luar yang terorganissasi dan ingin “memancing di air keruh",” tegas Erwin.

Dikotomi pengembang-penghuni

Erwin menyayangkan, masyarakat sudah terburu larut dalam dikotomi pengembang dan non-pengembang dalam menghadapi masalah seputar pengelolaan dan penghunian rusun. Masing-masing pihak mendahulukan kepentingannya, tanpa mau berembuk bersama dan mengembalikan pada aturan hukum yang berlaku.

Erwin tidak setuju dengan dikotomi ini. Menurutnya, pengembang bisa punya empat peran.  Pertama sebagai pelaku pembangunan. Kedua sebagai pengelola. Di sini peran pembangun berhenti ketika sertifikat hak milik (SHM) Sarusunnya terbit dan mereka mengelola Rusun sebagai P3SRS sementara.

"Namun, sebagian developer mengatakan, karena sementara, bisa berbuat suka-suka. Padahal itu salah. UU Rusun mengatur pengembang membuat pembukuan terpisah, meski sebagai pengelola sementara. Satu lagi, pengembang sebagai pemilik unit yang punya kewajiban sama (dengan pemilik)," ujarnya.

Menurut Erwin, ada mekanisme untuk menyampaikan pendapat dan membentuk tata tertib dalam anggaran dasar dan rumah tangga (AD/ART). Seharusnya, baik pemilik, penghuni, maupun pengembang yang masih berperan sebagai pemilik rusun memanfaatkan forum tertinggi tersebut.

"Semua pihak punya niat yang sama, pasti ada solusi. Seringkali, pengembang dan pihak di luar pengembang lupa bahwa undang-undang, peraturan pemerintah, dan AD/ART harus ditaati. Semua pihak, punya porsi kesalahan dan tanggung jawabnya sendiri," tandasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com