Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siapkah Jakarta Jadi Kota Dunia? (Bagian IV)

Kompas.com - 25/04/2014, 12:30 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Dengan berbagai tantangan dan kendala yang dihadapi Jakarta untuk tampil sebagai kota dunia, pengelola kota bukannya tidak berupaya memperbaiki dan menambah fitur, infrastruktur serta fasilitas. Ada tiga isu utama atau masalah akut yang tengah diselesaikan yakni tata ruang, kemacetan, dan banjir.

Untuk mengatasi kemacetan, berbagai perbaikan dan penambahan infrastruktur kota, tengah dikerjakan. Melalui PT MRT Jakarta konstruksi pembangunan mass rapid transit  sudah  dimulai berupa proses penggalian tanah untuk stasiun bawah tanah. Pembangunan itu dilaksanakan pada Jumat (4/4/2014) malam.

Titik pengerjaan konstruksi penggalian pembangunan stasiun bawah tanah berada di jalur Bundaran HI-Sarinah tepatnya di depan Plaza Indonesia, Kantor Kedutaan Besar Jepang, dan Plaza EX.

Sedangkan dalam mengatasi tata ruang kota yang semrawut, Jakarta berusaha mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030. Pengembangan fisik diorientasikan ke wilayah barat dan timur Jakarta dengan konsentrasi di Sentra Primer Baru Barat (SPBB) dan Sentra Primer Baru Timur (SPBT).

Orientasi pengembangan tersebut dimaksudkan untuk memecah kepadatan dan konsentrasi  pusat bisnis dan komersial di tengah kota sehingga terdistribusi merata ke beberapa kawasan. Selain itu, juga untuk menumbuhkan pusat-pusat bisnis dan komersial baru.

Selain itu, Jakarta juga giat mengonversi area-area komersial yang tidak sesuai peruntukannya menjadi ruang terbuka hijau (RTH) berupa taman-taman kota.

Bahkan, menurut Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Sarwo Handayani, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1 triliun per tahun untuk pembelian lahan yang akan diubah menjadi ruang terbuka hijau (RTH).

"Dengan dana sebesar itu, Pemprov berharap dapat menambah lahan sebesar 20 hektar per tahun untuk pengembangan RTH. Sehingga pada 2030 mendatang, target RTH 35 persen terbangun dari total luas wilayah kota dapat dicapai," ujar Sarwo usai menjadi pembicara IAI Design Week, di Jakarta, kepada Kompas.com, Kamis (17/4/2014).

Luas RTH di Jakarta saat ini sekitar 75 kilometer persegi atau hanya 9,8 persen dari total luas daratan Ibu Kota, 661,52 kilometer persegi. Angka ini masih jauh dari batas minimal 30 persen seperti yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007.

Sebelum hadirnya undang-undang yang mengatur RTH, rencana induk tata kota Jakarta sebenarnya sudah cukup progresif. Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta tahun 2005 menetapkan 35 persen ruang Jakarta dialokasikan untuk RTH. Faktanya, pengembangan tata ruang Ibu Kota lebih banyak menggeser fungsi RTH menjadi kawasan niaga dan perkantoran.

Dengan berbagai upaya tersebut, diharapkan wajah fisik ibukota bertransformasi menjadi jauh lebih baik. "Jakarta sangat siap menjadi kota dunia, asal mampu memanfaatkan potensi dan keuntungan dari posisi dan perannya di percaturan regional saat ini. Jika tidak, maka, momentumnya akan lewat begitu saja," ujar Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, Kamis (24/4/2014).

"Jakarta Waterfront City"

Selain sebagai kota dunia, Jakarta juga sangat berpotensi untuk menjadi kota tepi pantai kelas wahid "Jakarta Waterfront City" dan menjadi destinasi pariwisata utama. "Jakarta Waterfront City" bisa setara dengan Kopenhagen, Dubai, atau bahkan Sydney

Menurut Principal Architects Atelier Cosmas Gozali, Cosmas D Gozali, Jakarta tak cukup hanya memiliki Ancol, Pantai Mutiara, atau Pantai Indah Kapuk. Bentang pantai Jakarta sangat panjang, sekitar 32 kilometer, harus dibuat terintegrasi menjadi kawasan komersial, permukiman, dan tentu saja pariwisata terkemuka.

Untuk menciptakan waterfront city bertaraf internasional, Cosmas mengusulkan gagasan besar dengan merancang green belt baru di luar Kota Jakarta. Green belt tersebut tidak hanya berkaitan dengan sarana fisik semata, seperti jalan dan infrastruktur, tetapi sabuk multifungsi (multilayer) yang bertumpu pada pemerataan ekonomi, menghubungkan kota penyangga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

"Green belt baru menekankan pada layer sebanyak tiga lapis di atas tanah untuk bangunan komersial dan residensial multifungsi dan jalan-jalan kendaraan. Area ini dibuat "membaur" agar mobilisasi manusia  dan kendaraan bisa diperkecil. Salah satu dampak positif dari desain ini adalah lahan di bawahnya bisa dijadikan sebagai resapan air," paparnya.

Selain itu, Cosmas juga menyertakan pengembangan waduk buatan untuk menampung air hujan yang mengalir menuju Jakarta. Air tersebut akan ditampung di reservoir terlebih dahulu untuk kemudian dialirkan ke rumah-rumah tangga sebelum dibuang lagi hingga akhirnya mengalir ke laut. Konsep ini dinilai lebih mangkus dan sangkil ketimbang deep tunnel karena dimanfaatkan terlebih dahulu dan tidak langsung dibuang.

Cosmas optimistis, jika gagasannya ini diimplementasikan, masalah akut Jakarta, seperti macet, sampah (kotor), dan banjir akan teratasi dalam 20 hingga 35 tahun mendatang sehingga kualitas hidup warga Jakarta akan meningkat, dan menarik minat wisatawan mancanegara.

Baca juga: Siapkah Jakarta Jadi Kota Dunia? (Bagian I), Siapkah Jakarta Jadi Kota Dunia (Bagian II), dan Siapkah Jakarta Jadi Kota Dunia? (Bagian III)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com