Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berpotensi Raup Rp 24 Triliun, Kepemilikan Properti Asing Masih Kontroversial

Kompas.com - 14/12/2013, 19:40 WIB
Tabita Diela

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepemilikan Warga Negara Asing (WNA) non penduduk atas properti Indonesia masih saja ramai diperbincangkan. Bukan saja karena potensi yang dapat ditimbulkan jika kepemilikan WNA disahkan, namun juga kerugian dan dampak negatif yang menyertainya.

Adu argumen terus berlanjut mengenai kepemilikan WNA ini. Bagi pengembang, khususnya yang tergabung dalam Real Estat Indonesia (REI), kepemilikan WNA akan sangat menguntungkan, sekaligus menjadikan pasar properti Indonesia memiliki daya saing seperti Singapura, Malaysia dan Australia.

Bahkan, menurut Ketua Umum DPP REI 2007-2010, Teguh Satria, kepemilikan WNA atas properti Indonesia berpotensi menambah pendapatan pajak sebesar Rp 24 triliun.

Nilai pendapatan pajak ini diperoleh dari hasil pengalian harga rumah minimum untuk WNA sebesar 500.000 dollar AS yang terjual sebanyak 10.000 unit per tahun dengan pajak properti 40 persen yang terdiri atas komponen PPN 10 persen, PPH 5 persen, PPHTB 5 persen, dan Pajak Penjualan Barang Mewah 20 persen.

"Jumlah pendapatan pajak sebesar itu bisa digunakan membangun rumah subsidi dan rumah rakyat sekaligus mengatasi backlog. Kita tahu, anggaran Kementerian Negara Perumahan Rakyat hanya Rp 4 miliar, tidak cukup untuk membangun 16,5 juta kekurangan rumah," ujar Teguh.

Kecurigaan masyarakat dan rentan spekulasi

 
Beberapa organisasi masyarakat, juga asosiasi yang menaruh perhatian pada isu ini menyayangkan anggapan pengembang REI.

Eddy Ganefo dari APERSI, misalnya, menilai kepastian hukum bagi asing untuk bertempat tinggal di Indonesia sudah berkekuatan hukum tetap. Tidak perlu lagi diubah-ubah.

Dipermasalahkannya soal hak pakai WNA tersebut hanya keinginan para kapitalis yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Sementara, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan makin sulit mendapatkan rumah.

 
"Karena akibatnya sangat jelas, yaitu dampak kenaikan harga tanah dari penjualan rumah untuk WNA dengan harga khusus atau tinggi," kata Eddy.
 
Kemenpera tetap teguh pada hukum
 
Masyarakat boleh bergunjing. Asosiasi pun boleh adu argumen. Namun, bagaimana posisi isu ini di mata hukum? 

Kepala Biro Hukum dan Kepegawaian, Maharani, hari ini (14/12/2013) bersedia angkat bicara.

 
"Dalam Undang-Undang PKP (UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, red) dan Undang-Undang Rusun (UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, red) sudah diatur bahwa hal-hal yang diperjanjikan dalam pemasaran harus dipenuhi, karena bisa kena sanksi. Maka, sebelum kita menerbitkan HP (Hak Pakai, red) untuk WNA, kita harus cermati betul-betul proposalnya, devisa negara apa yang akan diperoleh negara, misalnya penyerapan tenaga kerja seberapa banyak, peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar HP. Ada tiga persyaratan, teknis, administrasi, dan ekologis," terangnya.
 
Sementara itu, keinginan para pengembang untuk memudahkan proses perpanjangan izin Hak Pakai ternyata tidak bisa dilakukan. "Itu tidak boleh," uajr Maharani. "Karena dalam UU Penanaman Modal sudah kena MK (Mahkamah Konstutusi, red) dan dicoret. Perpanjangan HP sudah diatur dalam PP 40 tahun 1996."
 
Maharani juga menjelaskan, PP 40 mengatur perpanjangan dan pembaruan hak. Pembaruan bisa dilakukan, namun tentu dengan evaluasi sebelum diperpanjang dan dengan proses peninjauan lapangan.

"Apakah haknya memenuhi syarat untuk diperpanjang, atau tidak. Misalnya jika HP itu orang asing, ternyata rumahnya tidak pernah ditempati ya ditolak perpanjangan haknya," tandas Maharani.

 
Ada "korban" langsung
 
Baik mereka yang begitu pro dan juga sebaliknya, begitu kontra, seakan lupa bahwa isu kepemilikan properti Indonesia oleh orang asing bukan sebatas soal investasi, uang, dan kenaikan harga properti. Di sisi lain, orang Indonesia yang menikah dengan warga asing harus berhadapan dengan masalah lebih kompleks dan personal.
 
Berdasarkan Undang-undang Pokok-pokok Agraria/UUPA (UU No. 5 Tahun 1960), Warga Negara Asing (WNA) tidak boleh memiliki hak milik atas tanah. Maka itu, WNA akan menggunakan Hak Pakai. Namun, WNI yang menikah dengan WNA ternyata terseret juga pada hukum tersebut.
 
Awal tahun ini sempat digelar diskusi menarik bertajuk "Solusi Kepemilikan Properti Bagi Pelaku Perkawinan Campuran Indonesia", pada Sabtu (13/4/2013). Diskusi yang digelar Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (Perca) tersebut menghadirkan pakar hukum tata negara Jimly Asshidique dan penasehat Forum Kajian dan Konsultasi Pertanahan (FKKP) Chairul Basri.

Ada masalah krusial yang terungkap, antara lain status kepemilikan tanah, pewarisan dan penghibahan tanah, serta hak anak hasil pernikahan campuran dengan WNA.

 
Seharusnya, Undang-undang  Pokok Agraria No. 5/1960 yang mengatur kepemilikan tanah WNA tidak berpengaruh pada suami atau isteri berkebangsaan Indonesia. Meski telah menikah dengan warga asing, seorang WNI tetap mempunyai hak milik dan tidak kehilangan kewarganegaraannya.

Menurut Chairul, hak kepemilikan atas tanah melekat pada subyek pemiliknya. Jika subyek adalah WNI, maka ia berhak atas status Hak Milik. Sedangkan, pasangan WNA-nya sebagai subjek orang asing hanya berhak memiliki status hak pakai.

 
Meski demikian, praktik yang biasa terjadi di lapangan, berlaku sebaliknya. Hingga kini, UU Pokok Agraria No. 5/1960 masih dipengaruhi oleh UU No. 62/1958 tentang kewarganegaraan. Padahal, UU No. 62/1958 sudah diubah menjadi UU No. 12/2006. Dengan UU tersebut, seharusnya status WNI yang menikah dengan WNA tetap menjadi WNI Tunggal.
 
Terbukti sudah, berbagai cara pandang bisa digunakan dalam melihat isu ini. Namun, semua boleh memandang, tapi hanya segelintir yang mampu menetapkan hukum dan mengeksekusinya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com