Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia di Ambang "Bubble"? Bahaya...

Kompas.com - 30/05/2013, 19:32 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com Kelas menengah bawah adalah kalangan terdepan yang akan terkena dampak bubble atau gelembung properti. Ini akibat para pemain properti membanderol harga mengikuti keinginan investor dan latah ikut lonjakan harga properti mewah. Padahal, penyewa atau pembeli dari kelas menengah dan bawah punya daya beli tertentu dan terbatas.

Pertumbuhan harga properti tak wajar, terutama terjadi di pinggiran Jakarta. Di sekitar kawasan pinggiran yang lahannya masih luas tersebut, harga propertinya bisa sama dengan di Pondok Indah pada empat tahun lalu. Pemain properti mematok harga mengikuti fenomena pertumbuhan yang terjadi di kelas atas atau mewah. Contohnya saja, harga rumah klaster terbaru di BSD City sudah Rp 2,5 miliar-Rp 8 miliar (Baca: "Peta" Rumah Paling Laris).

Hal tersebut merupakan persoalan besar karena pembeli properti kelas atas tersebut sebagian besar memang pengguna akhir yang lebih menekankan sisi sentimental ketimbang investasi. Celakanya, para pemain properti menjadikan transaksi tersebut sebagai tolok ukur untuk harga properti mereka.

Menurut CEO Leads Property Indonesia Hendra Hartono, kalau harga naik terus, investor akan susah mencari penyewa. Mereka yang melakukan transaksi jual beli properti macam ruko, rukan, atau ruang komersial lainnya bakal kelabakan mencari pembeli sekunder. Sebab, kenaikan harga yang sekarang terjadi tidak diimbangi dengan pertumbuhan bisnisnya. Sementara itu, dana yang dialokasikan untuk membeli properti sudah tidak memadai. Akibatnya, mereka kemudian tidak menjalankan usahanya, tetapi malah melakukan jual-beli ruko atau perkantoran strata.

"Kalau sudah demikian, kita memang di ambang bubble. Pertumbuhan bisnis tidak sesignifikan kenaikan biaya (harga properti). Ini berbahaya. Intinya, kita menuju ke arah bubble kalau harga naik terus. Sooner rather than later bukan sooner or later," tandas Hendra kepada Kompas.com, di Jakarta, Kamis (30/5/2013).

Kontrol pemerintah

Pemicu melonjaknya harga properti adalah problem lahan. Ketersediaan banyak, tetapi dikuasai oleh para pemain properti sehingga tidak terkontrol. Selain itu, banyak lahan bermasalah yang membutuhkan ongkos tinggi untuk "mensterilkannya". Itulah mengapa harga properti bisa terstimulasi dan semua kelas ikut terdongkrak.

Menurut Hendra, Indonesia bisa meniru Singapura, Hongkong, dan China dalam mengontrol suplai dan harga dengan menguasai lahan-lahan strategis di dalam kota. Selain itu, pemerintah juga harusnya ikut mengatur dan mengawasi pertumbuhan harga properti primer, terutama kelas menengah bawah. Jangan sepenuhnya menyerahkan properti kelas menengah bawah kepada mekanisme pasar.

"Tidak mudah memang mendeteksi kapan gelembung tersebut pecah, kalau properti menengah dengan harga selangit itu ada pembelinya. Ada daya beli dan terjadi transaksi jual beli. Namun, kondisi pertumbuhan harga yang tidak terjadi alami patut diwaspadai," ucap Hendra.

Sementara itu, Managing Director Cushman and Wakefield Indonesia David Cheadle mengatakan, gelembung akan terjadi bila kenaikan pertumbuhan harga sangat signifikan akibat melonjaknya permintaan dan unsur spekulasi.

"Selain itu, tingkat ruang-ruang kosong properti strata dan sewa semakin bertambah," ucapnya saat presentasi "Are We in Bubble or Not" di ajang Properti Indonesia Award 2013.

Baca juga: Wajarkah Setiap Senin Harga Properti Naik?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com