Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wajarkah Setiap Senin Harga Properti Naik?

Kompas.com - 26/05/2013, 15:19 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Hari Senin besok, adalah saat-saat kritis di mana harga properti "dikondisikan" naik, sebagaimana materi promosi salah satu pengembang yang ditayangkan televisi. Pengembang tersebut tak sendiri, nyaris, seluruh pengembang mengamini promosi tersebut dan menjadikan hari Senin sebagai titik tolak pertumbuhan harga properti yang mereka kembangkan.

Menjadi hal menarik untuk ditelisik, haruskah setiap Senin harga properti naik?

Serupa halnya dengan "stock market" atau bursa saham, fenomena yang terjadi adalah setiap hari Jumat, pada umumnya harga saham terkoreksi. Demikian pula dengan harga saham properti, kendati saat ini menguat, tetap saja ada korelasi erat. Jadi, dengan menaikkan harga tiap Senin, pengembang berharap dapat memulihkan harga yang terkoreksi pada hari Jumat dan mampu membukukan transaksi di akhir pekan.

Selain itu, kenaikan harga setiap awal pekan tersebut juga merupakan salah satu siasat dan strategi yang sangat umum dilakukan dan sudah lama berlangsung. Tak hanya di Indonesia, juga di belahan dunia lainnya. Lebih dari itu, strategi dan besaran harga ini selalu paralel dengan hukum penawaran dan permintaan. Namun, yang jadi pertanyaan berikutnya adalah seberapa tinggi kenaikan harganya?

Menurut CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, selama satu dekade atau kurun 2000-2010, rata-rata kenaikan harga properti adalah 10 persen. Persentase sebesar ini terjadi di lokasi premium seperti Sudirman CBD, Thamrin CBD, ataupun Kuningan CBD. Jumlah itu terus meningkat hingga 20-30 persen selama tiga tahun terakhir. Sementara di kawasan non-CBD, pertumbuhan harga properti mencapai separuhnya yakni 15 persen sampai 20 persen.

"Harus diperhatikan juga, berapa lama kenaikan ini akan berlangsung. Harga yang terlalu tinggi juga berbahaya, jika ternyata yang membeli properti adalah investor bukan pemakai akhir. Kalau sampai komposisi investor mendominasi pembelian properti, akan berpotensi terjadinya 'crash'," papar Hendra kepada Kompas.com, di Jakarta, Minggu (26/5/2013).

Pertumbuhan harga juga dipengaruhi oleh intensitas pengembangan yang dilakukan developer. Mereka akan terus membangun selama ketersediaan lahan masih ada. Plus dukungan daya beli. Selama daya beli ada, transaksi akan terus terjadi. Jadi, bukan semata karena keterbatasan pasokan.

Hendra melanjutkan, jika pasar tidak mengalami penetrasi signifikan alias profil pembeli adalah repeat buyer maka kondisi pasar bisa kacau. Itu sama artinya pasar diramaikan oleh investor, bukan pembeli riil. Buat pengembang, hal tersebut memang tidak menjadi masalah, karena konsentrasi mereka bukan di situ. Bagi mereka yang penting properti laku dan habis terjual. Prinsipnya adalah selama masih bisa menaikkan harga alias "digoreng", kenapa tidak?

Sementara itu, Head Capital Market and Investment Knight Frank Fakky Ismail Hidayat berpendapat ada alasan khusus mengapa pengembang melakukan strategi kenaikan harga setiap Senin dengan besaran yang sensasional.

"Saya dapat memaklumi aksi pengembang yang menaikkan harga. Selama ada permintaan dan stok yang terbatas, kenaikan tersebut wajar adanya. Tapi jika itu terjadi setiap pekan, ini tak lebih sebagai marketing strategy yang agresif. Sejujurnya saya sangsi kalau harga transaksi bisa setinggi itu," ungkap Fakky seraya menyebut sebuah papan reklame di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, yang berisi iklan sebuah perkantoran CBD Sudirman seharga Rp 46 juta per meter persegi.

Baik Hendra maupun Fakky sepakat bahwa pertumbuhan harga properti merupakan hal yang wajar. Apalagi di awal-awal pengembangan. Namun, apabila kenaikan itu terjadi terus-menerus, bukan lagi hal yang wajar. Karena akan timbul sebuah preseden buruk, bila selisih harga properti lebih tinggi dari yang lain di lokasi yang sama untuk kualitas setara atau bahkan lebih baik, maka yang akan dijadikan harga patokan adalah yang menawarkan selisih harga lebih tinggi. Padahal harga riilnya tidak sebesar itu.

"Praktik seperti itu yang berbahaya, karena harga yang dipatok adalah harga ekspektasi investor, bukan harga yang mampu dibeli oleh pengguna akhir," ujar Hendra.

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com