BOGOR, KOMPAS.com — Pemerintah dinilai masih setengah hati menyelesaikan permasalahan backlog perumahan yang mencapai 13,6 juta unit ditambah 800.000 unit per tahunnya. Adanya program perumahan rakyat selama ini belum mampu mengatasi permasalahan tersebut.
"Pemerintah itu setengah hati mengatasi backlog perumahan. Seperti program FLPP, itu terlalu banyak ketentuannya dan tidak fleksibel, makanya banyak pengembang tidak mau memakainya," kata pakar hukum properti, Erwin Kallo, di Bogor, Jawa Barat, Kamis (31/5/2012) petang.
Ia mengatakan, jika pemerintah memang berkomitmen tinggi mengentaskan permasalahan perumahan layak huni bagi warganya, pemerintah membutuhkan formula tepat, seperti pembebasan pajak rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Menurut dia, sulitnya MBR memiliki rumah adalah akibat kesenjangan antara mahalnya biaya produksi rumah dan daya beli masyarakat.
Saat ini, untuk mencicil rumah, masyarakat harus mengeluarkan uang Rp 750.000-Rp 1 juta. Sementara itu MBR sendiri masih banyak berpenghasilan di bawah Rp 3 juta sehingga kesempatan mencicil masih terasa berat.
"Pajak juga harus dikurangi. Jadi, Menpera harus bisa meyakinkan Menkeu, kemudian meminta Kementerian Pekerjaan Umum membangun infrastruktur, berkoordinasi dengan BPN untuk penyediaan tanah, serta bekerja sama dengan Mendagri untuk memerintahkan pemerintah daerah menyediakan tanah, maka backlog perumahan bisa teratasi," ujarnya.
Selain masih sulitnya program pemerintah terrealisasi, kinerja Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dalam penyaluran rumah subsidi juga dipertanyakan. Pasalnya, hingga triwulan pertama tahun ini, penyaluran rumah bersubsidi baru mencapai 6.000 unit dari target 240.000 unit rumah.
Riswan Tony, anggota Komisi V DPR, juga mempertanyakan kinerja Menpera. Ia menilai, Menpera kurang luwes bekerja sama dengan para pembuat kebijakan perumahan.
"Menpera tidak bisa bekerja sama dengan REI dan Apersi. Mereka kesulitan terhadap banyaknya ketentuan yang ada pada skema FLPP baru. Menpera harus mengalah, kecuali sudah mampu," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.