Oleh: Oktiani Putri
KOMPAS.com - Kampung pecinan Ketandan, Yogyakarta, sudah ada sejak toko emas pertama di kota pelajar itu berdiri pada 1955. Seperti halnya dengan kampung-kampung pecinan di kota-kota lain yang identik dengan kawasan perdagangan dan komersial, kampung pecinan Ketandan juga berada di sekitar kawasan Malioboro, tak lain pusat kegiatan komersial di Yogyakarta dan menjadi tujuan wisatawan baik domestik ataupun mancanegara.
Pada akhir abad 19 hingga awal abad 20, Kampung Ketandan muncul sebagai permukiman Tionghoa. Saat itu, muncul aturan dari Pemerintah Belanda mengenai pembatasan wilayah tinggal warga keturunan Tionghoa.
Namun, dengan izin dari pihak keraton, warga Tionghoa diizinkan menetap di Kampung Ketandan, di utara Pasar Beringharjo. Pemberian izin itu dengan harapan dapat membangkitkan aktivitas pasar tersebut.
Lazimnya, kampung pecinan identik dengan keberadaan klenteng sebagai landmark atau bentuk bangunannya khas dengan arsitektur Tionghoa, yaitu memanjang ke belakang dan tinggi bagian atapnya, serta ramainya kawasan tersebut dengan kegiatan perdagangan. Namun, saat ini, jika kita melihat lagi Kampung Ketandan ini, kondisinya agak berbeda dengan pecinan di kota lain.
Kawasan pecinan Ketandan kini relatif sepi di beberapa titik jalan. Hanya ada satu ruas jalan di sebelah utara Pasar Beringharjo yang cenderung ramai karena dipenuhi deretan toko emas dan perhiasan. Bahkan, jika kita tidak mengetahui sebelumnya, bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan pecinan, maka ketika kita melewati kawasan ini kita tidak akan dapat langsung mengenali, lantaran memang tidak ada sebuah landmark atau penanda khusus sebagai ciri khas kawasan tersebut.
Kini, sebagian besar bangunan di Kampung Ketandan merupakan bangunan tempat tinggal yang masih asli namun sepi penduduk. Kebanyakan penduduk asli Ketandan memiliki toko ataupun melakukan aktivitas perdagangan di jalan-jalan utama Malioboro karena dianggap lebih strategis. Hal inilah yang sering kali mengakibatkan identitas Kampung Ketandan berangsur-angsur hilang dan cenderung tergerus modernisasi sehingga seakan tidak mampu mempertahankan budaya yang ada.
Banyaknya penduduk asli meninggalkan Kampung Ketandan untuk pindah ke wilayah lain dan fasilitas kawasan yang masih kurang seperti pedestrian, lokasi parkir serta lebar jalan yang relatif sempit hanya menjadikan Kampung Ketandan sebagai jalan belakang menuju Pasar Beringharjo atau sekitarnya.
Memang, bangunan asli yang ada saat ini tetap dipertahankan. Namun demikian, partisipasi warga untuk terus menghidupkan Kampung Ketandan tetap diperlukan. Seperti contoh, adanya pusat kuliner Tionghoa, pusat perdagangan aksesoris Tionghoa, klenteng, serta ruang pertunjukkan khas Tionghoa, tetap dibutuhkan dan dilestarikan agar identitas kawasan itu tetap terjaga, sehingga nilai-nilai akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa tetap dapat disaksikan di Kampung Ketandan.
(Penulis adalah mahasiswa bidang Perencanaan Wilayah dan Kota Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.