Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UU Rusun 2011 adalah "Kecelakaan Sejarah"....

Kompas.com - 23/11/2011, 20:26 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-undang Rumah Susun (Rusun) tahun 2011 yang telah disahkan oleh DPR RI pada Oktober 2011 lalu dinilai sebagai "kecelakaan sejarah". UU yang menggantikan UU No 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun ini hanya "ganti baju" dari UU sebelumnya itu karena tak banyak berubah dan belum semuanya melindungi kepentingan konsumen rusun, terutama menjamin penyediaan tanah dan rumah, Badan Pelaksana Rusun atau BPRS, Perhimpunan Penghuni, RT/RW, dan Pengelolaan.

Demikian diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi) Ibnu Tadji HN pada diskusi terbatas di kantor sekretariat Aperssi, Lenteng Agung, Rabu (23/11/2011). Ibnu mengatakan, peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya UU Rusun 2011 ini belum menekankan pada rasa keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia, sebagaimana tercantum dalam sila kelima dari Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan menjadikan Pancasila dan UUD 1945, sebagai dasar negara dan ibu dari segala  macam UU serta peraturan di Indonesia.

"Faktanya jelas, bahwa pengelolaan rusun lebih eksklusif dilakukan developer yang tak membutuhkan lagi kehadiran RT atau RW sebagai perekat sosial warga penghuni rusun. Konsep ini semakin menjauhkan dari jiwa gotong-royong. Siapa bilang orang hidup di Jakarta tak perlu lagi bergaul, tak butuh gotong-royong," Ibnu.

Undang-undang Republik Indonesia 2011 Tentang Rumah Susun Pasal 46 menyebutkan, bahwa UU menjamin hak kepemilikan perorangan/badan hukum atas satuan rusun, menjamin hak atas kepemilikan bersama atas bagian, benda, dan tanah bersama, dihitung berdasarkan NPP. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, seperti yang disebutkan pada Pasal 1 ayat 4,5, dan 6.

Sementara itu, Undang-undang Republik Indonesia No 16 Tahun 1985 Tentang Rusun (UU RI tahun 1985, Pasal 19 ayat 1 dan 3 menjelaskan, bahwa untuk menjamin ketertiban, gotong royong dan keselarasan sesuai dengan kepribadian Indonesia dalam mengelola bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama, maka dibentuk Perhimpunan Penghuni (PP). PP kegiatannya perlu diserasikan dengan kelembagaan RT dan RW yang bergerak dibidang kemasyarakatan.

"Artinya apa, ini sebuah kemunduran. UU Rusun 2011 justeru semakin membuat penghuni rusun berjiwa individualis. Lucunya, justeru yang menekankan ini adalah pemerintah," ujarnya.

Hal lain yang sangat disoroti pada UU Rusun 2011 ini adalah dokumen perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) sebagai salah satu dokumen pertama dan paling penting untuk jual/beli. Ibnu mengungkapkan, peraturan tentang PPJB yang diatur dalam Kepmenpera No 11 Thn 1994 sedang dalam proses revisi.

"Yang terjadi, dalam prakteknya, isi dokumen PPJB rusun memuat sedikit sekali hak pembeli dibanding kewajibannya. Hak dan kewajiban antara pembeli dan pengembang tidak berimbang," kata Ibnu.

Menurutnya, akar permasalahan rumah susun diawali dari pembuatan PPJB yang tidak transparan dan berimbang, termasuk dalam undang-undang ini. Akibatnya, lagi-lagi UU ini gagal dalam menciptakan ketentraman dan kenyamanan bertempat tinggal di rumah susun. Standar pembuatan PPJB harus menjamin perlindungan rakyat sebagai konsumen.

Mirisnya, lanjut dia, pelaku pembangunan atau developer, boleh melakukan pemasaran sebelum pembangunan rusun dilaksanakan. Syaratnya, developer harus memiliki jaminan atas pembangunan rusun dari lembaga penjamin seperti termaktub dalam UU tahun 2011 tentang Rusun Pasal 42 ayat 2 huruf e). Hal itu diperkuat dengan UU Tahun 2011 tentang Rusun, Pasal 43 ayat 2 yang isinya PPJB dilakukan setelah fisik bangunan rusun terbangun paling sedikit 20%.

"Apakah kalau bangunan rusun itu sudah 20% dibangun menjamin aman buat konsumen, belum tentu. Yang ada sekarang ini, kita tak pernah tahu dengan jelas isi PPJB seperti apa, jadinya seperti membeli kucing dalam karung," kata Ibnu.

Pendapat tersebut diperkuat fakta, bahwa ikatan tanda jadi saat konsumen memberikan uang adalah uang tidak kembali jika terjadi sesuatu pada pembangunan rusun. Sekretaris Jenderal Aperssi, Aguswandi Tanjung, mengatakan sudah menjadi standar developer, bahwa aturan main dokumen PPJB selalu berat sebelah, tidak berimbang antara hak dan kewajibannya, dan yang jelas, tidak ada lembaga penjamin.

"Tidak jelas kapan akte jual belinya atau AJB, status tanah dan nilai perbandingan proposional atau NPP-nya, karena dokumen-dokumen lainnya disembunyikan developer," ujar Aguswandi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com