Palembang, Kompas -
Alex mengatakan hal itu Rabu (16/6) di Palembang, menanggapi terhambatnya pembangunan 2.000 rumah murah tipe 21 dan tipe 36 di Palembang. Proyek yang dimulai April 2009 itu hingga kini baru menyelesaikan 500 unit. Penyebab terhambatnya proyek itu adalah pengembang kehabisan modal karena akad kredit belum dilakukan.
Peminat rumah murah tipe 21 dan tipe 36 lebih dari 19.000 orang. Rumah murah tipe 21 untuk pekerja sektor informal, seperti tukang becak dan tukang ojek, sedangkan rumah murah tipe 36 untuk pegawai negeri sipil, guru, dan anggota TNI/Polri (
”Mudah-mudahan satu bulan ke depan pembangunan rumah murah bisa dimulai lagi. Beberapa masalah administrasi akan segera diselesaikan,” kata Alex.
Alex mengungkapkan, rumah murah tipe 36 yang sudah selesai dibangun sebanyak 400 unit segera diserahkan kepada pemilik yang lolos seleksi sehingga akad kredit secepatnya dilakukan.
”Pemerintah Provinsi Sumsel akan berusaha mempertahankan harga rumah murah meskipun tarif dasar listrik akan dinaikkan. Harga rumah murah tipe 21 Rp 25 juta, sedangkan tipe 36 Rp 35 juta. Rumah murah itu bisa dimiliki dengan mencicil Rp 5.000 sampai Rp 10.000 per hari selama 10 tahun,” ujarnya.
Sekretaris DPD Real Estat Indonesia Sumsel Agus Alamsyah menyebutkan, terhambatnya pembangunan rumah murah karena lambatnya verifikasi calon penerima rumah murah. Hal itu menyebabkan akad kredit belum dapat dilaksanakan. Pengembang tidak dapat melanjutkan pembangunan karena tidak ada pemasukan. Padahal, pengembang harus mengembalikan kredit dari bank yang sudah dipakai untuk membangun rumah murah.
”Lambatnya verifikasi karena bank menerapkan syarat ketat bagi penerima kredit. Verifikasi pekerja sektor informal untuk rumah tipe 21 lebih sulit dibandingkan verifikasi pegawai negeri sipil untuk tipe 36,” kata Agus.
Ia menambahkan, verifikasi kelayakan sebaiknya melibatkan organisasi seperti serikat pekerja atau koperasi.