JAKARTA, KOMPAS.com — Jangan berani-berani menebang pohon sembarangan di kawasan Lippo Village, Tangerang. Meski pohon rindang itu ada di area rumah pribadi, bisa-bisa penghuni akan kena denda. Ya, PT Lippo Karawaci Tbk sebagai pengembang keukeuh menerapkan konsep green living alias hunian ramah lingkungan di lanskap garapannya.
"Semua pohon adalah properti pengembang dan kami sensus secara berkala," cetus Wahyudi, Town Management Division Lippo Village, Kamis (25/3/2010). Makanya jangan heran jika Anda mendengar cerita seorang mahasiswa terkena denda gara-gara menabrak sebuah pohon di sana hingga rusak. Wahyudi bilang kepada mereka yang merusak, Lippo menawarkan opsi mengganti dengan pohon yang sama atau membayar ganti rugi.
Tren hunian yang mengusung konsep green living memang semakin marak di pasaran properti Indonesia. Ada yang sekadar klaim, tetapi tidak sedikit yang berusaha menerapkan konsep ini dengan sebenarnya. Tren ini pun kini tak cuma diterapkan pengembang kawasan perumahan di luar Jakarta, melainkan juga developer superblok di pusat bisnis Ibu Kota.
Lihat saja yang dilakukan Grup Pakuwon dalam proyek Casa Grande Residence. Sebagian besar areal seluas 9,5 hektar (ha) diperuntukkan bagi lahan terbuka dan fasilitas penunjang. "Kami hanya membangun dua menara apartemen seluas 2,5 ha," ujar Paulus Hasto BJ, Promotion Manager PT Elite Prima Hutama, anak usaha Pakuwon yang menggarap proyek ini.
Selain itu, Casa Grande juga berusaha memberikan banyak bukaan dalam unit-unit apartemen yang dijualnya. Kaca-kaca besar yang bisa dibuka tutup diklaim bisa meminimalkan kebutuhan pencahayaan lampu sekaligus menghemat penggunaan pendingin udara. Belum lagi, banyak balkon yang bisa menjadi taman.
Nyatanya, konsep ini mampu membuat konsumen terpikat. Buktinya, sejak dipasarkan akhir 2008, dua tower Casa Grande Residence telah terjual sedikitnya 50 persen dengan kisaran harga Rp 11 juta−Rp 15 juta per m².
PT Bakrieland Development Tbk melakukan hal senada. Dalam proyek apartemen The Wave at Rasuna Epicentrum, perusahaan milik keluarga Bakrie ini menyodorkan sembilan tower kondominium dan 2.700 unit apartemen yang disebut-sebut menerapkan konsep green architecture. "Komposisi lanskap 70 persen dan bangunan 30 persen saja," kata Andre Rizky Makalam, Chief Marketing Officer Bakrieland.
Associate Director Head of Research Jones Lang LaSalle, Anton Sitorus, mengakui, tren green living memang cukup menjual saat ini. Namun, ia memperingatkan agar pembeli tak menelan mentah-mentah iklan green living yang diunggulkan pengembang. "Berdasarkan pengamatan saya, hanya ada satu atau dua pengembang yang menerapkan konsep itu," kata Anton.
Dia menuturkan, esensi konsep ramah lingkungan tidak boleh berhenti sebatas luasan lahan yang dijadikan ruang terbuka hijau. Yang lebih penting justru desain dan bahan fisik bangunan yang mampu berkontribusi terhadap penghematan energi serta pengelolaan limbah yang efektif.
Komitmen pengembang untuk konsisten menerapkan green living juga patut dicermati. "Jangan sampai ruang terbuka hijau yang tersisa lama-lama habis dipakai jadi tower baru setelah unit lama habis terjual," cetus Anton.
Apalagi, kenaikan harga tanah, utamanya di pusat kota, bisa menggoda fokus pengembang untuk terus berekspansi. Makanya, Anton menyarankan agar pembeli langsung melihat lokasi untuk memperoleh kepastian.
Toh, para pengembang superblok tetap yakin bisa berkontribusi besar dalam pengurangan emisi limbah. Caranya, mereka membangun semua fasilitas di dalam kawasan hunian. Dus, penghuni tak perlu keluar kompleks dengan kendaraan untuk sekadar berbelanja atau mencari hiburan. (KONTAN Weekend)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.