Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penataan Malioboro Tidak Inovatif

Kompas.com - 09/09/2009, 19:03 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Penataan fisik kawasan Malioboro, Yogyakarta, saat ini dinilai tidak kreatif dan minim inovasi baru. Kenyamanan dan keamanan para pejalan kaki kurang mendapatkan perhatian. Karena itu, sudah saatnya dilakukan penataan ulang di berbagai sisi.

Hal itu terungkap dalam dialog budaya dan gelar seni Jogja Untuk Semesta bertema "Potret Malioboro Tempo Doeloe dan Akan Datang", Selasa (8/9) malam di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta. Narasumber yang tampil adalah Slamet Sutrisno (dosen Fakutas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Widihasto W Putra (Dewan Penasihat Yayasan Studi Masyarakat), serta Munichi Bachron Edrees (Ketua Ikatan Arsitek Indonesia DIY).

Munichi menuturkan, ide kreatif dan terobosan besar penataan Malioboro pernah dilakukan tahun 1972. Saat itu, mahasiswa arsitektur UGM menggelar pameran arsitektural di Senisono untuk mengkritisi Malioboro, dengan mengundang Pemerintah Kota Yogyakarta. Saat itu ada ide menarik, toko di sepanjang Malioboro diubah dan dijadikan pedestrian.

"Kami presentasikan ide itu dan disetujui. Usulan itu direalisasikan. Toko-toko di Malioboro, di bagian lantai satu, dibongkar sebagian di bagian depannya untuk dijadikan pedestrian. Karena itulah, kini toko-toko itu terlihat menjorok ke dalam. Pemikirannya dulu pedestriannya kurang lebar," katanya.

Ide lain adalah membuat belokan jalan dari Mangkubumi menuju Malioboro yang kini dikenal Jalan Kleringan. Ide ini muncul karena setiap kereta melintas di depan Stasiun Tugu terjadi kemacetan panjang. "Ini menarik, tetapi sekarang kok tidak pernah dilakukan lagi," katanya.

Ia menyatakan, penataan kawasan Malioboro ke depan harus dilakukan secara matang dan dikembalikan pada asas manfaat dan mudaratnya. Karakteristik Malioboro harus bisa dijaga. "Fungsinya harus rahmatan lil alamin, memberikan rahmat bagi siapa pun yang menggunakan, tidak melihat suku bangsa, ras, agama, semua bisa menggunakan ruang Malioboro sebagai ruang publik," katanya.

Keberadaan pedagang kaki lima yang kini sudah jadi bagian kekhasan Malioboro jangan sampai digusur. Jika PKL dihilangkan atau dipindah, justru Malioboro tidak hidup. Penataan juga harus memerhatikan karakteristik fasad bangunan, mulai dari gaya China, modern, sampai indies. "Disayangkan, ciri khas bangunan banyak tertutupi baliho dan papan-papan iklan. Secara infrastruktur, Malioboro memiliki keunggulan karena mewarisi rancang bangun Belanda. Selokan di bawah Malioboro itu bisa untuk lari orang," katanya.

Area pedestrian Malioboro harus bisa menjamin kenyamanan dan keamanan pejalan kaki, terutama dari aksi copet. Material pedestrian mesti dipilih dari bahan yang tidak membuat orang mudah terpeleset, ramah bagi penyandang cacat. Selain itu, harus disediakan lavatori setiap jarak tertentu. "Ini kan tidak ada. Sering saya melihat, arsitek-arsitek kota ini tidak memulai dengan perencanaan yang matang, tetapi justru menzalimi ruang," katanya.

Menurutnya, ide menutup Malioboro bagi kendaraan bermotor, seperti pernah dilontarkan WS Rendra tahun 1970-an, sangat menarik. Namun, akan membawa konsekuensi kemacetan luar biasa di jalan-jalan sekitar Malioboro.

Ide menutup Malioboro untuk mengatasi kesemrawutan lalu lintas dan menjadikannya kawasan pedestrian kembali dilontarkan Widihasto. Ide ini diakui tidak mudah dilakukan, tetapi bisa dijalankan. Dibutuhkan kantong-kantong parkir, yang sekarang ada sudah tidak memadai, katanya.

Penataan PKL diakui sudah jauh lebih baik daripada masa lalu. Namun, limbah lesehan yang dibuang di saluran drainase hingga kini belum mendapat solusi terbaik.

"Pepohonan besar sangat kurang. Kalaupun ada taman, itu hanya berupa taman artifisial kecil di atas pembatas jalan. Di siang hari, taman ini tidak memberi keteduhan, tertelan hiruk pikuk kendaraan yang melintas," katanya.

Slamet menyatakan, selain bisnis, Malioboro mestinya juga memberikan pelayanan bagi kebutuhan lain, seperti pelayanan publik, rekreasi, dan artikulasi pikiran-pikiran cerdas dan kritis. "Malioboro itu komplet membangun ekspose keindahan, kekenesan tetapi juga kebengisannya," tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com