Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Townhouse Bukan, Perumahan Juga Bukan!

Kompas.com - 27/08/2009, 09:32 WIB

KOMPAS.com - Rumah-rumah dalam kelompok berjumlah kecil menjamur di sekeliling Jakarta dan kota-kota di Jawa. Apa saja keuntungannya membeli "perumahan" semacam ini? Waspadai juga kekurangannya!

Kita tentu mengenal dan sudah tak asing dengan istilah town house atau rumah bandar. Rumah rumah ini umumnya dibangun dengan jumlah yang terbatas dan lokasinya sangat dekat dengan pusat kota atau pusat bisnis. Letaknya bisa jadi berada di tengah-tengah pemukiman tradisional yang sudah eksis sebelumnya, dan lokasi town house tersebut adalah "sisa sisa lahan" yang masih belum termanfaatkan. Karena sifatnya yang merupakan "sisa lahan", tentu saja luasnya juga tak akan sebesar perumahan-perumahan standar yang ada di pinggir kota.

Rumah-rumah bandar semacam ini menjadi pilihan bagi mereka yang ingin tetap tinggal di tengah kota berikut segala fasilitas dan kemudahannya, tetapi tidak mau tinggal di hunian vertikal seperti apartemen. Satu klaster rumah bandar umumnya hanya berisi antara 10 hingga 20, atau
maksimum 30 rumah saja. 

Townhouse ini banyak kita jumpai di wilayah-wilayah yang pinggiran ibukota yang secara administratif masih masuk ke wilayah DKI Jakarta. Cilandak, Kalibata, Pondok Kopi, Palmerah, Cengkareng, atau Petukangan hanyalah beberapa wilayah di mana townhouse berada. Puluhan wilayah dengan karakter semacam ini didapati di seputaran Jakarta. 

Kecenderungan Baru 
Dengan jumlah unit yang ditawarkan mirip dengan townhouse (hanya sekitar 10-30 unit), kini muncul "perumahan" baru yang letaknya tidak dapat dibilang dekat dengan pusat kota. Bila asumsi dekat pusat kota adalah berjarak maksimum 10 atau 15 km, perumahan-perumahan tersebut jaraknya mungkin sekurang-kurangnya  20 km, bahkan hingga 40 km dari pusat kota atau pusat bisnis di ibukota Jakarta.

Perumahan model ini praktis belum memiliki istilah generik. Mau disebut townhouse, letaknya tidak dapat lagi dikatakan di dekat town. Mau disebut perumahan, jumlahnya barangkali tak cukup untuk membuat sebuah rukun tetangga (RT) yang ideal antara 50-60 rumah/kepala keluarga. 

Hingga saat ini, belum ada istilah spesifik yang digunakan untuk menyebutkan karakter perumahan semacam ini. Masing-masing pengembang langsung mengangkat nama mereka sendiri, sedangkan di mata konsumen mereka tetap menamainya perumahan.

"Perumahan" model ini banyak bermunculan sebagai siasat dari para pengembang yang tidak
memiliki modal cukup besar untuk mengembangkan suatu kawasan yang relatif luas. Ukuran lahan yang diperuntukkan pun tidak dalam hitungan hektar, paling-paling mulai dengan luas 1.000/2.000 m2 hingga 5.000m2.

Lokasi yang dipilih para pengembang kecil ini umumnya berada di dekat kawasan pemukiman yang dikembangkan oleh pengembang besar. Daerah barat dan barat daya, seputar Karawaci, Serpong, Pondok Aren, Bintaro, Ciputat, Ciledug, dan Pamulang adalah wilayah-wilayah di mana perumahan-perumahan kecil semacam ini bermunculan. 

Sedangkan di selatan, mulai dari Lenteng Agung hingga Depok juga banyak dijumpai perumahan-perumahan tipe kecil semacam ini. Sedangkan di daerah timur, wilayah seperti Bintara, Harapan Indah, Pondok Gede, Jatibening, Cikunir, hingga Cilangkap adalah wilayah
tumbuh suburnya pemukiman mini. 

Namun dari sisi harga, rumah-rumah ini juga tak bisa dibilang murah. Sebuah "perumahan"
di kawasan Pondok Aren yang dinamai Bintaro Mansion misalnya, ditawarkan dengan harga di atas Rp 400 juta untuk tipe rumah termurah. Itupun hanya terdiri atas 12 unit rumah saja. Puri Sudimara di Ciledug menawarkan harga yang lebih murah dan jumlah lebih banyak, tetapi karena lokasinya juga tak sampal 2 km dari perbatasan Jakarta-Tangerang, harganya juga tak kurang darl Rp 170 juta.

Tak Hanya Seputar Jakarta
Fenomena munculnya perumahan berskala kecil ini bukanlah khas kota besar semacam Jakarta atau Surabaya. Di beberapa kota lain seperti Semarang, Yogyakarta, Bandung, Surakarta, gejala serupa sudah terlebih dahulu muncul sebagai siasat dari para pengembang lokal untuk tetap dapat bertahan di bisnis properti.

Menariknya, geliat bisnis semacam ini tetap saja mendapatkan sambutan yang hangat dari konsumen perumahan. Budaya dan perilaku masyarakat yang masih lebih menyukai rumah yang berdiri di atas tanah --bukan rumah vertikal -- menjadi faktor utama mengapa konsumen nyaris tiada putus dan usaha semacam ini berkembang terus. (Tabloid Rumah/Alois Wisnuhardana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com