Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DPR: Kemenpera Tak Mau Rakyat Berumah Layak?

Kompas.com - 01/02/2012, 02:49 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - DPR meminta Kementrian Perumahan Rakyat (Kemenpera) untuk benar-benar mendengarkan dan memperhatikan keluhan masyarakat yang kini tengah mengajukan kepemilikan rumah serta para pengembang yang tengah membangun perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Kebijakan Kemenpera menunda Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hingga akhir Januari ini membuat masyarakat terhambat memiliki rumah yang laik sebagai tempat tinggalnya.

Demikian dikatakan anggota Komisi V DPR Hetifah Sjaifudian dalam Rapat Kerja Komisi V DPR RI dengan Kemenpera, Selasa (31/1/2012). Di satu sisi, kata Hetifah, pemerintah mengehendaki agar bank menetapkan bunga kredit yang tidak jauh dari tingkat suku bunga SBI. Di sisi lain, masih ada beberapa bank yang menetapkan bunga kredit hingga bahkan 8,22 persen seperti bank BTN.

Hetifah berpendapat, penundaan tersebut menghambat mayoritas masyarakat yang sedianya akan difasilitasi oleh FLPP, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Demikian pula dengan pengembang, yang terpaksa harus menghentikan sementara pembangunan karena ketiadaan kucuran dana dari bank.

"Ini sudah tidak bisa dibiarkan lagi. Penundaan FLPP berdampak luas, menghilangkan pekerjaan karena proyek terhenti, pengembang rugi, masyarakat kecewa dan mengeluh," kata Hetifah kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (1/2/2012).

"Menpera harus memperhatikan ini agar kepercayaan publik tidak terus menurun. Apalagi, sudah mulai ada keluhan dan tuduhan, apakah Menpera tidak ingin MBR memiliki rumah yang layak? Apakah Menpera sudah berbohong dengan janjinya akan menyediakan fasilitas pembiayaan untuk kepemilikan rumah?," kata anggota Fraksi Partai Golkar ini.

Menurutnya, ada masalah dalam komunikasi antara Kemenpera dengan bank-bank yang harus segera diselesaikan. Perundingan juga semestinya sudah dapat dilakukan dan dirampungkan sejak Desember tahun lalu agar FLPP dapat cepat bergulir lagi.

Akibat berlarut-larutnya penyelesaian kesepakatan ini, masyarakat dan kelompok pengembang dirugikan.

"Jika demikian, mengapa tidak dipakai PKO (perjanjian kerjasama operasional) tahun lalu untuk menghindari backlog?" katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com